Mengutip pernyataan Prof Yanuar Nugroho dalam artikel beliau di harian nasional kompas, ekosistem digital adalah suatu kondisi dimana hal2 yang bersifat natural, manual, dan mekanis akan digantikan fungsinya oleh teknologi digital yang bersifat mampu mengontrol akurasi sebuah sistem dengan lebih baik dan praktis. Hemat energi dan proses yang berarti mampu menjamin terciptanya optimasi produksi baik manufaktur maupun jasa.
Sementara industri wisata adalah sebuah bisnis bergenre jasa yang mengemas dan menjual "pengalaman." Produk dengan jenis pengalaman (experiences) ini terkait erat dengan sensasi, edukasi, dan informasi yg diterima secara multisensori.
Maka men-deliver produk yg satu ini gampang2 susah. Banyak negara memiliki keunggulan komparatif berupa objek wisata berbasis keindahan dan keunikan alam yang hanya bisa didapatkan di daerah tertentu (locus delicti). Potensi geologi atau bentang alam khusus serta keindahan pantai dan kehidupan bawah laut (terumbu karang) tentu sulit diciptakan secara artifisial.
Demikian pula gunung api dan struktur pegunungan karst yg khas, tak dapat ditiru dengan sempurna, apalagi dapat memberikan pengalaman yang sama. Teknologi holografik maupun VR memang akan memberikan sensasi yang mendekati tapi tetap belum dapat menyamai kondisi di alam asli, terutama karena ada proses yang harus dilalui dan itu unik.
Misal semua orang bisa ke pantai Baruna Singaraja sewa perahu di pagi hari dan pergi melihat lumba-lumba hidung botol (tursiops sp), dan ada yang bertemu dgn segerombolan lumba2, ada yg hanya jumpa satu dua, dan banyak pula yang tak melihat apa2.
Tapi dalam proses "berburu" lumba2 itu wisatawan merasakan alunan ombak dan hembusan angin pagi yang mengiringi terbitnya sang matahari yang indah sekali. Rerata wisatawan puas meski tak berjumpa lumba2. Sama dengan kondisi wisata kepulauan yang tak selalu didukung cuaca, tapi berteduh dibawah rimbun perdu atau pohon kelapa saat hujan gerimis merinai sambil menyeruput secangkir kopi tubruk murahan yg panas mengepul akan menjadi kesan yang begitu membekas.
Pengalaman traveling penulis ke berbagai destinasi, baik yang mainstream maupun ekstrem memberikan gambaran bahwa mengelola pengalaman ini sangat unik sekaligus sangat menarik. Siapa dulu yang menyangka bahwa sawah bersubak di Tegal Lalang yg merupakan kearifan lokal akan menjadi destinasi wisata yang mendunia ?
Siapa yang menyangka foto diri di puncak bukit pulau Padar yang berbatu kemerahan dan gersang akan menjadi bagian dari variabel penting eksistensi diri di media sosial. Siapa mengira sebuah pantai sepi di pulau Seram yg bernama Ora akan memiliki sebuah resort apung bernuansa natural yg diperebutkan orang sedunia hingga harus dibooking jauh2 hari.
Banyak contoh lainnya, mulai dari Nihiwatu, Raja Ampat, Pantai Liang, gusung pasir Morotai, sampai sate gurita di Sabang bisa menarik orang berumah ribuan kilometer untuk datang menyambangi. Budaya melancong dan pelesir memang merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan ke dalam diri yang jika digambarkan kok mirip judul film ya, the pursuit of happiness yang dibintangi Will Smith. Pemuasan fungsi kognitif terhadap sensasi keindahan multisensori inilah yang harus dikelola oleh manajemen wisata di suatu area.
Bukan hanya sekedar bentang alam dan budaya, tapi total rasa. Betapa Jogja-Solo, dan juga sebagian besar kota2 di Eropa yang punya keunggulan komparatif berupa warisan budaya dalam berbagai bentuk tinggalan arsitektural bersejarah, meski sedemikian luar biasa bangunan dan warisan budayanya masih harus mengembangkan sektor penunjang agar soal pengalaman berbasis multi rasa ini dapat dialami secara paripurna.
Maka Bali bukan hanya Kecak, Pendhet, Pura, dan pantai2 putih berair jernih biru turquoise saja, tapi juga harus punya resort, bandara, dan rumah sakit yang tidak hanya memudahkan dan memberi kenyamanan wisatawan, tetapi juga mampu memberikan rasa aman. Tetapi soal rasa ini memang rumit sedemikian rupa.
Ada kalanya wisatawan (contoh saya sendiri) menginginkan fasilitas luxury bak raja seperti resort kelas dunia di Maldives yg sampai menyediakan pesawat amfibi/sea plane untuk antar jemput tetamunya. Makanan berkelas seperti caviar Beluga dari Ukraina, Salmon terbaik Norwegia, dan keju biru Perancis harus tersedia.
Spa Sauna juga gym dan kolam renang berair asin harus ada. Meski di daerah tropis udara harus tetap silir semilir. Demikian juga saat di Hallstatt atau Aspen Colorado yang bersalju dengan suhu minus sepuluh di bawah nol, inginnya tetap hangat dan bisa tidur nyaman meringkuk seperti bayi dalam kandungan. Itulah manusia.
Tetapi ada kalanya jalanan berlumpur, tebing yg sangat licin dan berbahaya di tepi air terjun raksasa Victoria, auman hewan buas di Serengeti tanpa jaminan keamanan, atau melihat penguin di pulau Phillips yang berombak amat besar adalah sebuah kesenangan yang sensasinya tak tergantikan. Sulitnya mencapai danau Kakaban, Maratua, atau pulau kecil bernama pulau Cinta di Teluk Tomini adalah bagian dari keberhargaan sebuah perjalanan.
Dan keindahan di tujuan adalah hadiah yang tak terperikan. Sungguh sensasi adalah adrenalin dan endorfin yang berpadu dengan kortisol yg muncul secara bergantian saat ketakutan dan kekhawatiran berimbuh harapan dapat jumpa mimpi dan keindahan. Itulah yg saya alami saat harus bergulat dengan badai salju di lereng selatan Himalaya, seputaran Tangmarg, agar dapat merasakan sensasi berdiri di salah satu gunung yang menjadi penyangga langit bagi dunia.
Hujan butiran salju dengan suhu minus yang membuat segenap tulang berderak pilu dan sendi2 mendadak ngilu, sungguh sensasi yang membuat super sensasi meledak saat bisa berdiri di puncak putih berselubung salju yang begitu indahnya.
Proses yang sulit ini menjadikan keindahan dirasakan maksimal. Maka memberi akses jalan nyaman, bandara kinyis2 dengan kursi2 necis, mobil berpengemudi klimis, dan makanan resto dengan menu import dari dapur bertaraf sekurangnya berbintang Michelin 2, adalah hal sia2 yang justru membuat perjalanan menjadi berkurang maknanya.
Pengalaman penulis belum lama ini menjelajahi negara bagian Jammu Kashmir di punggung Himalaya menunjukkan bahwa kondisi semi ekstrem yang harus dihadapi membuat akhir perjalanan menjadi begitu nikmat dan indahnya. Di penghujung ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran terjadilah "banjir" endorfin, serotonin, dan prolaktin yang membuat lidah tak mampu berhenti mengucap syukur.
Tapi di balik itu sesungguhnya orang bertualang dan menjelajah tetap saja mengikuti naluri fisiologis paling mendasar, yaitu respon defensif. Kebutuhan terhadap rasa aman yang memerlukan kepastian.
Pertanyaan terkait dengan judul artikel ini, apakah ekosistem digital dapat memfasilitasi pengalaman berwisata yang mampu memuaskan multi indera dan sekaligus menghadirkan kepastian serta rasa aman ? Dengan konsep yang diusung oleh Prof Yanuar di atas maka fungsi kontrol dan akurasi senyata (real time) semestinya dapat menjembatani pelaku usaha wisata dan wisatawan sebagai pelanggannya.
Pengalaman indah saya tinggal selama 2 hari di rumah apung di Dal Lake di ketinggian 1 mil di atas permukaan laut, dengan panorama dikelilingi pegunungan bersalju akan terasa lebih sempurna jika ada kepastian tentang berbagai hal terkait dgn keselamatan dan kenyamanan. Perkembangan teknologi digital saat ini sudah sampai pada kemudahan layanan akses transportasi dan akomodasi serta cara pembayaran.
Sebagai contoh adalah aplikasi lokal, Traveloka, yang selalu saya gunakan untuk mencari tiket pesawat, kereta api, hotel, sampai membeli paket internet luar negeri, dan transportasi dari dan ke bandara, bahkan membayar asuransi BPJS. Semua menjadi sangat mudahnya.
Bahkan saat ini tidak lagi bersifat domestik, tetapi sudah memasuki area global. Sebagai contoh, saya yang tinggal di Bandung ingin berwisata di destinasi baru di New Soho Jakarta Barat, Jakarta Aquarium. Maka saya akan mencari tiket kereta api Argo Parahyangan ekonomi Premium yg nyaman dan berharga murah. Proses pesan dan beli dapat saya lakukan di aplikasi.
Demikian pula pembayaran, karena ada fasilitas sakuku , atau seperti saya, gunakan aplikasi mobile banking. Usai proses pesan dan beli tiket kereta, kita lanjutkan mencari penginapan, silahkan pilih, pesan ,dan bayar.
Siapkan juga transportasi lokal dan belilah di aplikasi yg sama tiket masuk wahana. Semua mudah dan karena tidak memerlukan proses yang panjang maka utilisasi asset pelaku bisnis wisata juga menurun hingga terciptalah efisiensi. Diskon tiket pun dapat diberikan. Berbekal sebuah hape saya dapat liburan sekeluarga selama 2 hari di Ibukota dengan harga terjangkau dan rasional (objektif) serta mendapatkan semua fasilitas sesuai dengan apa yang saya bayar.
Di sisi lain, ketidakpastian (uncertainty) seperti harga yg fluktuatif subjektif dan disinformasi produk yg kadang menimbulkan kekecewaan akan dapat diminimalisir. Sebaliknya aplikasi dgn single solution termasuk fitur pembayaran (fintech) juga dapat mengefisienkan proses produksi pelaku bisnis wisata.
Maka kini diperlukan inovasi yang dapat merangkum kebutuhan wisatawan dan pelaku bisnis wisata terhadap objektivitas informasi e.g lokasi, cara mencapainya, kemudahan mengatur perjalanan sampai di lokasi, akomodasi, edukasi terkait objek wisata, makanan, dan juga suvenir.
Saya membayangkan gabungan fungsi dan fitur Traveloka dengan GoJek dan Tokopedia tapi dapat bersifat lokal dan khusus pada ranah wisata (tourism). Sederhananya begini, saya ingin pergi ke sebuah pulau eksotik lalu saya memesan airlines, memilih kursi dan opsi khusus lainnya (misal makanan halal), mengatur penjemputan di bandara (bisa dengan kendaraan warga lokal, sepeda, atau mungkin becak dan delman), jika saya puas dengan layanannya saya dapat memberi tip digital (seperti GoJek), belajar tentang sejarah dari situs budaya di pulau tersebut, mengatur transportasi lokal saya lewat aplikasi dan dicarikan alternatif paling efisien untuk melakukan kunjungan ke beberapa destinasi sesuai dengan keinginan dan kebutuhan kita serta kemungkinan yg bisa dilakukan.
Belanja suvenir bisa offline karena ada sensasi tersendiri tetapi pembayaran dan tip digital karena hal ini kerap menjadi keluhan wisatawan (over paid dll). Barang atau suvenir dapat dikirimkan dan di-tracking, warung yg akan didatangi dapat dipesan dan dibayar terlebih dahulu. Terlebih jika kita keterlibatan total dengan budaya dan masyarakat setempat, maka jika masyarakat juga menggunakan aplikasi yang sama, mereka dapat menjadi pemandu wisata lokal (guide) yg tentunya punya pengalaman subjektif dengan daerahnya,
kita bisa memesan dan membayar untuk makan di rumah penduduk dengan masakan yang disiapkan langsung di dapur rumah tersebut. Kita bisa berkeliling dengan sepeda atau kuda atau gerobak yang dimiliki penduduk. Bahkan kita dapat diajak ke pantai tak dikenal di Google yang diketahui dengan baik oleh akamsi alias anak kampung sini.
Suvenir pun tak melulu toko cenderamata, bisa saja produk tenun rumahan, batik yang dibuat para ibu rumah tangga, buah dari pekarangan, atau masakan tahan lama yang disiapkan oleh para keluarga yg ahli dalam bidang kuliner lokal. Acara tradisi yang tak terpublikasi pun jadi dapat diketahui, demikian pula informasi tentang nilai dan maknanya yg tentu saja sarat dengan kearifan lokal.
Penginapan pun demikian, kita dapat memilih rumah penduduk dengan ketersediaan fasilitas sesuai dengan apa yg mereka miliki. Sederhananya aplikasi wisata cerdas berbasis masyarakat ini seperti jejaring sosial media per lokasi yang dapat dicari melalui map di menu dan setiap akun yg dipublish dapat menampilkan produk dan jasa yang mereka miliki. Karena aplikasi ini memiliki fitur fintech maka proses pemesanan dan pembayaran dapat dilakukan online dan kita tidak merasa tertipu karena kemahalan.
Ekonomi kerakyatan akan bangkit. Semua orang akan menciptakan keunggulan kompetitifnya masing2. Resep2 tradisional nan tua akan kembali dan disajikan sebagai kekhasan. Ini mungkin mirip dengan konsep aplikasi Madhang milik Mas Kaesang Pangarep. Dimana kita bisa memilih dan membeli masakan rumahan dari Ibu2 rumah tangga yang memiliki akun di aplikasi.
Bayangkan jika kita datang ke sebuah pulau dan dijemput dengan bendi atau sado warga, makan siang di pantai dengan bekal dari masakan tradisional yang lezat dan menginap di rumah panggung yang nyaman tanpa.khawatir dengan pungli dan tip yang kebanyakan. Keuangan liburan menjadi terkontrol dan terukur.
Masyarakat destinasi wisata akan menggeliat roda ekonominya dan tentu akan terjadi "multiplier effect" pada sektor2 lain yang terimbas seperti nelayan dll. Senangnya jika kita dapat ikut melaut dan makan siang di pulau gusung pasir dengan bekal nasi dan sambal ibu nelayan serta bakar ikan yang baru dipancing. Inilah momentum saat hal2 natural manual bertemu dan bersahabat dengan produk2 digital.
beberapa konsep pengembangan wisata cerdas berdasar penelitian yang mengacu pada aplikasi sistem cerdas (cognitive computing, deep learning, natural linguistic program, dan AI). Pendekatan yang dilakukan komprehensif dan mengakomodir aspek gender dan budaya.
sistem cerdas akan membantu mengorganisir, mengelola, dan memberikan solusi bagi kebutuhan wisatawan serta pelaku usaha wisata.
tamat
Indas adalah portal tempat bertemunya civitas akademika dan umum dalam lingkup yang lebih luas (global), sehingga batasan waktu, ruang dan jarak tidak lagi menjadi hambatan dalam mengembangkan potensi dan menyatukan visi serta misi menuju era keterbukaan. Indas akan memberikan kendali kepada anda secara langsung dalam menentukan tujuan masa depan.
Berkembang bersama Indas.id serta memiliki kesempatan yg tidak terbatas adalah keuntungan yg akan anda miliki apabila bergabung.
Portal Website ini dikelola dan dioperasikan oleh PT. Gilang Candrakusuma. Kebijakan Privasi ini menetapkan cara melindungi dan menggunakan
informasi yang Anda berikan ketika menggunakan layanan situs ini.
Kantor Pusat:
Grha Cakrawala 2nd Floor
Jl. Pemuda No. 72-73 D-E Jakarta 13220 Indonesia.
Telephone :
021-22474247
021-22474274
Facsimile :
021-4890022