I. PENDAHULUAN
Pilihan Penyelesaian Sengketa atau disebut juga dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dalam istilah asingnya disebut Alternative Dispute Resolution (disingkat ADR) adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai bentuk penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus, seperti arbitrasi. Arbitrasi berlangsung atas dasar pendekatan adversarial (pertikaian) yang menyerupai proses peradilan sehingga menghasilkan adanya pihak yang menang dan kalah.
ADR ini bertitik tolak dari hak-hak asasi (hak dasar manusia) untuk dapat menentukan pilihan mana yang paling cocok bagi dirinya, yaitu hak asasi setiap orang dalam masyarakat untuk dapat menuntut dan mengharapkan putusan yang tepat atau memuaskan. Harapan-harapan lain itu nyatanya sampai sekarang tidak selalu demikian, lebih-lebih masalah itu ditangani melalui adversarial (pertikaian) atau badan-badan peradilan seperti Pengadilan atau Arbitrase itu memakan waktu yang panjang, biaya yang tidak kecil, penyelesaian yang rumit, dan kadang-kadang selalu sering tidak dapat memuaskan pihak-pihak yang bersengketa.
Mengingat kepentingan masyarakat yang demikian itu untuk memperoleh keadilan dalam waktu yang cepat dengan biaya yang murah, mereka sering mencari bentuk-bentuk lain selain dari cara yang diadili melalui cara adversarial baik melalui badan peradilan maupun arbitrase. Karena kalau melalui badan peradilan atau arbitrase solusinya itu satu menang satu kalah (win/lose). Kondisi semacam ini mendorong berbagai kalangan mencoba untuk mencari alternatif solusi dari berbagai sengketa tersebut.
Tidak jarang kasus-kasus dalam bidang pidana tertentu yang juga diselesaikan dengan cara ADR ini. Dapat disebutkan di sini misalnya dalam pelanggaran lalu lintas, perkara-perkara ringan dan juga tindak pidana (delik) aduan. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam analisis kasus di sini dipilih tentang kasus penganiayaan (perkelahian) yang penyelesaiannya tidak lewat jalur pengadilan, tetapi diselesaikan lewat jalur kesepakatan (konsensus).
II. PERMASALAHAN
1. Apakah kasus penganiayaan dapat diselesaikan melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR)?
2. Apakah Surat Pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak di hadapan Petugas Polisi (Penyidik) dapat dipakai sebagai solusi yang tepat?
III. PEMBAHASAN
1. Langkah-Langkah Permasalahan ADR
Dalam kasus penganiayaan (perkelahian) pihak yang merasa dirinya sebagai korban penganiayaan biasanya melapor atau mengadukan perkaranya kepada Polisi. Dengan adanya laporan atau pengaduan tersebut diharapkan dapat dilakukan penyidikan lebih lanjut kepada tersangka terhadap korban yang dianiaya. Tindakan yang telah diambil oleh pihak polisi adalah menerima dan membuat laporan polisi, mendatangi TKP dan membuat sket TKP, membuat Berita Acara TKP, membuat permohonan Visum et Repertum dokter, dan mengadakan penyidikan lebih lanjut.
Dalam Berita Acara Pemeriksaan, telah diperiksa pihak tersangka dan saksi-saksi antara lain. Setelah Berita Acara Pemeriksaan dibuat, pihak tersangka dan korban berunding untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan cara damai (kekeluargaan), dimana pihak tersangka mengajukan kesanggupannya untuk menanggung biaya pengobatan korban selama korban dirawat di Rumah Sakit. Berdasarkan kesanggupan pihak tersangka, maka pihak korbanpun menyetujui usul tersangka tersebut. Dan untuk meyakinkan para pihak dan sekaligus agar mempunyai kekuatan hukum yang kuat, maka para pihak yaitu tersangka dan korban membuat kesepakatan berupa Surat Pernyataan di atas kertas segel dengan membubuhi tanda tangan masing-masing pihak dan para saksi.
Berdasarkan Surat Pernyataan tersebut, maka pihak pelapor (pengadu) mengajukan permohonan untuk mencabut laporan (pengaduan) kasus penganiayaan tersebut, dengan pertimbangan bahwa pihak pelapor (pengadu) telah juga menandatangani Surat Pernyataan damai antara pihak tersangka dan pihak korban tersebut.
Berdsarkan surat pernyataan tersebut tampaknya bahwa kasus penganiayaan yang terjadi pada dasarnya telah diselesaikan dengan cara berdamai antara kedua belah pihak. Sehingga pihak polisi menghentikan penyidikannya berdasarkan Surat Pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak, dan Surat Permohonan Pencabutan Laporan/Pengaduan oleh pihak Pelapor/pengadu. Penghentian penyidikan ini dilakukan oleh pihak penyidik (polisi) dengan mempertimbangkan bahwa berdasarkan hasil penyidikan terhadap tersangka, saksi dan barang-barang bukti ternyata bahwa peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, yang dipersengketakan kepada tersangka, tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, sehingga perlu menghentikan penyidikan atas perkara tersangka tersebut. Hal ini berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Adapun Pasal 109 KUHAP selengkapnya berbunyi:
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penyidik menghentian penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau pe- nyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) di- lakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum. (Satjipto Rahardjo, 1992: 38).
Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah suatu rangkaian proses yang bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan antara pihak-pihak yang pada mulanya perselisihan atau persengketaan itu hanya bisa diselesaikan lewat badan peradilan artinya melalui suatu pengadilan. Istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) ini merupakan ungkapan yang dipergunakan oleh banyak penulis, untuk menguraikan pertumbuhan/perkembangan yang berhubungan dengan teknik-teknik yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan perselisihan (persengketaan) tanpa adanya suatu pedoman, baik melalui arbitrase, maupun badan-badan peradilan. Dalam mekanisme kerjanya Alternative Dispute Resolution (ADR) ini biasanya melibatkan penengah yang adil, dalam arti kata tidak memihak, dan bertindak sebagai pihak-pihak ketiga yang netral. Beberapa penulis juga mendefinisikan Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam arti yang lebih luas, artinya ia bermaksud untuk menemukan jalan yang lebih baik dan bagus untuk menyelesaikan persengketaan, meliputi juga hal-hal yang tidak pernah terselesaikan melalui jalur pengadilan dan forum-forum resmi lainnya. Sedangkan penulis lain memberikan atensi atau perhatian, tekanan secara spesifik dalam rangka ke-butuhan untuk mengurangi atau meringankan beban pengadilan. Dengan adanya Alternative Dispute Resolution (ADR) ini peradilan itu akan meringankan beban pe-ngadilan, di samping itu juga tujuannya untuk memperoleh adanya solusi yang saling menguntungkan.
Alternative Dispute Resolution (ADR) sering juga diartikan sebagai dalam satu jenis gerakan kemasyarakatan yang meliputi atau memiliki beberapa tujuan, seperti:
1. Mengurangi keterbatasan pengadilan;
2. Menambah akses memperoleh keadilan; dan
3. Memperkuat kapasitas masyarakat dan para lingkungannya atau tetangganya untuk menyelesaikan konflik-konflik sebelum mereka melanjutkannya ke pengadilan.
Jadi dalam pengertian ini, Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Pilihan Penyelesaian Sengketa, adalah merupakan salah satu tuntunan yang diperoleh untuk menyelesaikan persengketaan, menyelesaikan konflik antara pihak-pihak di luar peradilan. Baru kalau mereka tidak dapat menyelesaikan konflik juga ataupun konsensus dalam solusinya dilanjutkan ke badan-badan adversary, baik arbitrase mapun pengadilan.
Dari perkembangan semula ini merupakan suatu pertanggungan badan yang belum merupakan suatu bentuk yang mandiri tapi sekarang sudah diakui bahwa ADR itu merupakan disiplin yang independen (mandiri), artinya disiplin yang mempunyai metode-metode dan prosedur-prosedur penyelesaian, dalam rangka mengkafer proses penyelesaian sengketa yang begitu baik ataupun tidak cukup penyelesaian sengketa serta mendesain sistem penyelesaian sengketa.
Tujuan Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah menyediakan suatu proses yang sangat berharga untuk membantu di dalam penyelesaian pihak-pihak perselisihan yang bersengketa, terutama dalam proses atau terhadap penarikan sengketa dan pihak-pihak yang bersengketa untuk mendesain bagaimana cara penyelesaian sengketa tersebut. Bagaimana penyelesaiannya bisa melalui Negosiasi, dan Mediasi. Ciri utama dari masalah ADR ini adalah para pihaklah yang memberikan hasil dari yang disengketakan, dan para pihaklah yang menentukan yang mereka kehendaki bersama, mereka yang menentukan semuanya. Jadi dalam hubungannya dengan kasus penganiayaan tersebut di atas, maka sudah tepat apa yang dilakukan oleh para pihak tersebut menyelesaikan persoalannya. Prosesnya dapat dalam bentuk-bentuk yang tersetruktur seperti Negosiasi atau Mediasi, dimana pihak ketiga atau penengah, yang dihormati, dan diharapkan dapat bertindak adil akan menengahi sengketa itu. Pihak ketiga atau penengah ini, tidak mengambil putusan, tetapi memfasilitasi pihak-pihak untuk dapat mencapai apa yang menjadi solusi terhadap persengketaan yang dihadapi. Ini berarti bahwa kontrol atau pengendalian atau putusan diambil dari bentuk-bentuk penyelesaian dari persengketaan itu berada di tangan para pihak.
Selanjutnya dalam menyelesaikan perkara ada beberapa karakter yang layak diselesaikan melalui konsensus, yaitu:
1. Masing-masing pihak mengklaim (menyatakan dirinya) atas keabsahan rasionalitas dan kepentingan tertentu.
2. Kasus yang dikemukakan mengandung peluang untuk diakomodasaikan (dikompromikan).
3. Adanya perimbangan relatif kekuatan atau pengaruh di antara para pribadi.
4. Kasus sengketa bersifat polisentris yaitu melibatkan banyak kepentingan dan akan terpengaruh oleh setiap pilihan kepentingan (Hadimulyo, 1997: xvii).
Proses penyelesian sengketa di Pengadilan itu, pada dasarnya:
1. memakan waktu yang lama;
2. menuntut biaya yang tinggi;
3. prosesnya sangat formal;
4. keputusan tak selalu memuaskan;
5. keputusan bersifat memaksa;
6. didasrkan pada hak-hak;
7. dapat merusak hubungan bisnis;
8. dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan;
9. melihat pada hal-hal yang sudah terjadi saja, tanpa memperhitungkan ke depan;
10. umumnya hakim tak menguasai masalah teknis bisnis (dalam hal Bisnis misalnya);
11. dapat mengancam reputasi pengusaha yang bersangkutan melalui pemberitaan oleh media massa.
Sedangkan dalam Alternative Dispute Resolution (ADR), yaitu:
1. waktu yang diperlukan relatif singkat;
2. biaya dapat ditekan;
3. proses lebih informal;
4. didasarkan pada musyawarah;
5. dapat mengeliminir (mereduksi) konflik;6. lebih memberikan kepuasan pada para pihak;
6. lebih cocok bagi kalangan bisnis.
Dalam kasus penganiayaan sebagaimana yang dibahas dalam tulisan ini, maka dapat dikemukakan bahwa kasus penganiayaan yang terjadi tersebut sebenarnya harus ditempuh lewat jalur pengadilan. Walaupun sebenarnya telah diselesaikan secara kekeluargaan oleh pihak korban dan pihak tersangka. Tetapi hal ini sebenarnya belumlah cukup sebab berdasarkan pengaduan dari pihak pelapor, telah jelas-jelas bahwa pihak tersangka telah menganiaya pihak korban, sehingga menyebabkan korban mengalami luka-luka. Atas hal tersebut maka si tersangka sudah dapat dijerat dengan pasal 351 KUHP.
Adapun Surat Pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak sebenarnya lebih mengarah kepada masalah perdatanya saja, yaitu berupa biaya pengobatan selama korban dirawat di Rumah Sakit. Sedang kasus pidananya tetap dapat diteruskan ke pengadilan yaitu dengan melakukan penyidikan lebih lanjut, dan menemukan bukti-bukti dan sekaligus keterangan saksi-saksi yang telah mengetahui kejadian tersebut.
Dengan demikian maka timbul persoalan sekarang Mengapa pihak Kepolisian tidak lagi melakukan penyidikan atau bahkan menghentikan penyidikan kasus penganiayaan tersebut, dengan pertimbangan berdasarkan surat pernyataan yang dibuat oleh para pihak tersebut? Apakah pihak Kepolisian tidak dapat menemukan bukti-bukti yang cukup kuat tehadap tersangka? Banyak memang pertanyaan-pertanyaan yang timbul, tetapi hal tersebut memang dalam kenyataannya ada dan berlanjut. Bagi masing-masing pihak yang terpenting adalah menerima kesepakatan yang telah diputuskan bersama tersebut. Dan untuk lebih mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka para pihak membuat Surat Pernyataan yang ditulis di atas kertas segel.
Berdasarkan surat pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak dan saksi-saksi, maka kasus penganiayaan yang terjadi telah diselesaikan dengan cara kekeluargaan, dimana kedua belah pihak telah bersepakat untuk:
1. Sama-sama minta maaf dan memaafkan.
2. Pihak pertama (pelaku) memberi bantuan uang dan pihak kedua (korban) menerima bantuan tersebut.
3. Sama-sama berjanji tidak akan mengulangi lagi per-buatan tersebut, baik kepada yang bersangkutan maupun kepada orang lain.
4. Sama-sama berjanji apabila mengulangi lagi perbuatan tersebut, bersedia dituntut sesuai hukum yang berlaku.
Di sinilah letak mengapa polisi tidak melakukan penyidikan lebih lanjut. Sebab yang paling utama dan terutama adalah pihak korban, yang telah menerima tawaran berdamai dari pihak tersangka, dan sekaligus menyatakan bahwa masalah penganiayaan tersebut telah diselesaikan dengan cara kekeluargaan (damai) antara para pihak. Dengan demikian masalah tersebut dianggap tidak ada atau tidak pernah ada dengan adanya Surat Pernyataan tersebut. Apalagi pihak korban telah menyetujui dan disaksikan oleh para saksi. Lagi pula budaya Indonesia yang cenderung mementingkan harmoni, keselarasan, kerukunan, dan kurang begitu mau dan mampu melihat suatu konflik dalam kenyataan yang wajar.
Dilihat dari jenisnya, konflik dibedakan dalam dua garis besar kategori, yakni:
1. Konflik yang sebenarnya tidak perlu, yaitu konflik yang berkaitan dengan data atau informasi yang kurang, keliru, atau disengaja, perbedaan pandangan dan interpretasi.
2. Konflik yang sebenar-benarnya konflik, yaitu konflik struktural (situasi, definisi peran, kendala waktu, ketimpangan kekuasaan atau wewenang, dan ketimpangan kontrol terhadap sumberdaya); konflik kepentingan (baik yang bersifat substantif, prosedural, maupun psikologis), dan konflik nilai (jatidiri) (Hadimulyo, 1997: 30).
Ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa hanya mencakup bentuk-bentuk penyelesaian sengketa berdasarkan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, fasilitasi, mediasi, konsiliasi, konsultasi, dan koordinasi. Arbitrasi tidak dimasukkan ke dalam bentuk alternatif, karena arbitrasi berlangsung atas dasar pendekatan adversarial (pertikaian) yang menyerupai proses peradilan sehingga menghasilkan adanya pihak yang menang dan kalah.
Adapun bentuk-bentuk penyelesaian sengketa berdasarkan konsensus, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Konsiliasi, yaitu usaha yang dilakukan pihak ketiga yang bersifat netral, untuk berkomunikasi dengan kelompok-kelompok yang bersengketa secara terpisah, dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan dan mengusahakan ke arah tercapainya persetujuan untuk berlangsungnya suatu proses penyelesaian sengketa.
2. Fasilitasi, yaitu bantuan pihak ketiga untuk menghasilkan suatu pertemuan atau perundingan yang produktif.
3. Negosiasi, yaitu proses yang berlangsung secara sukarela di antara pihak-pihak yang bertatap muka secara langsung untuk memperoleh kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak mengenai suatu isu atau masalah tertentu.
4. Mediasi, yaitu bantuan dari pihak ketiga dalam suatu proses negosiasi, namun pihak ketiga (mediator) tersebut tidak ikut serta mengambil keputusan.
5. Konsultasi, yaitu pertemuan dua pihak atau lebih untuk membahas masalah-masalah yang dianggap penting untuk dapat dicarikan pemecahannya bersama.
6. Koordinasi, yaitu upaya yang dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas tertentu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang melibatkan banyak pihak agar terhindar dari penanganan yang tumpang tindih.
Ada beberapa karakter sengketa yang layak untuk dipertimbangkan penyelesaiannya melalui pendekatan konsensus, yaitu:
1. Para pihak yang bersengketa memperlihatkan sikap dan pengakuan atas keabsahan dan rasionalitas dari kepentingan dan keluhan yang dikemukakan oleh masing-masing piha.
2. Kasus yang mengandung peluang para pihak untuk mengakomodasikan atau mengkompromikan kepentingan mereka yang berbeda.
3. Adanya perimbangan relatif kekuatan atau pengaruh yang dimiliki masing-masing pihak untuk memberikan tekanan-tekanan.
4. Sengketa yang bersifat polisentris, yakni melibatkan banyak kepentingan dan akan terpengaruh oleh setiap pilihan keputusan.
IV. PENUTUP
1. Dalam kenyataannya bahwa kasus penganiayaan dapat diselesaikan melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR), dimana para pihak yaitu tersangka dan pihak korban telah mengadakan kesepakatan damai dengan membuat Surat Pernyataan.
2. Surat Pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak di hadapan Petugas Polisi (Penyidik) dapat dipakai sebagai solusi sepanjang dalam tindak pidana (perkara) ringan. Dan pula memang pihak pelapor mencabut pengaduannya, serta pihak penyidik tidak menemukan bukti-bukti yang kuat untuk melanjutkan perkara (tindak pidana) tersebut ke pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Hadimulyo, Mempertimbangkan ADR Kajian alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan, ELSAM, Jakarta, 1997.
Rahardjo, Satjipto, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1992.
Hamzah, Andi, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
Prinst, Darwan, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Djembatan, Jakarta 1998.
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1981.
Sugandhi, R., KUHP Dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1981.
Posted in Artikel Pribadi Hukum Pidana
Posted on Maret 13, 2010
PERBANDINGAN DELIK PEMBUNUHAN MENURUT KUHP INDONESIA,
JEPANG, DAN ARGENTINA
Oleh: Budiyanto, S.H., M.H.
I. PENDAHULUAN
KUHP Jepang (The Penal Code of Japan) dan KUHP Argentina terdiri dua buku (bagian), yaitu Buku I tentang Ketentuan Umum dan Buku II tentang Kejahatan (Crimes), sedangkan KUHP Indonesia terdiri dari tiga buku, yaitu Buku I tentang Aturan Umum, Buku II tentang Kejahatan, dan Buku III tentang Pelanggaran.
Masalah tindak pidana (delik) pembunuhan ini mempunyai cakupan yang sangat luas. Baik dari segi jenis perbuatannya, sistem pemidanaannya, ruang lingkupnya maupun dari cara perbuatan itu dilakukan. Oleh karena itu dalam pembahasan tugas perbandingan ini penulis mencoba untuk mencari beberapa perbedaan dan persamaannya yang menurut penulis merupakan masalah prinsip dasar yang harus dilihat dan diperbandingkan.
Tindak pidana (delik) pembunuhan di negara manapun selalu diancam dengan pidana penjara yang cukup berat. Walaupun antara KUHP Jepang, KUHP Argentina, dan KUHP Indonesia tidak persis sama mengatur tentang berapa lama atau berat hukumannya. Dalam KUHP Jepang dan KUHP Argentina diadakan pembedaan masalah jenis-jenis pembunuhan. Dan Pembunuhan menurut KUHP Indonesia mengandung arti bahwa orang itu harus meninggal. Jadi dikehendaki kematiannya, walaupun sebenranya dalam makna pembunuhan secara implisit sudah ada unsur kesengajaan. Jika tidak ada unsur kesengajaan, dalam arti tidak ada niat atau maksud untuk mematikan orang itu, tetapi kemudian orang itu meninggal juga, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasi menurut pasal tentang tindak pidana pembunuhan (tindak pidana terhadap nyawa menurut KUHP Indonesia).
Berdasarkan perbedaan-perbedaan antara KUHP Jepang dan KUHP Argentina tersebut di atas, maka perlu diadakan pengkajian lebih mendalam tentang masalah tindak pidana pembunuhan ini walaupun tidak menutup kemungkinan ada persamaan-persamaan di antara KUHP tersebut.
II. PEMBAHASAN
Dari latar belakang di atas, maka untuk mengadakan perbandingan khusus tentang tindak pidana (delik) pembunuhan menurut KUHP Indonesia, KUHP Jepang, dan KUHP Argentina terlebih dahulu diuraikan ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana (delik) pembunuhan dari KUHP Indonesia, KUHP Jepang, dan KUHP Argentina sebagai berikut:
1. KUHP Indonesia
Tindak pidana (delik) pembunuhan di Indonesia diatur dalam Buku II Bab XIX tentang Kejahatan Terhadap Nyawa. Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 KUHP Indonesia (selanjutnya ditulis KUHP). Bab ini meliputi pengaturan tentang:
a. Pasal 338 KUHP, mengatur tentang sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
b. Pasal 339 KUHP, mengatur tentang pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh sesuatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.
c. Pasal 340 KUHP, mengatur tentang sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.
d. Pasal 341 KUHP, mengatur tentang seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
e. Pasal 342 KUHP, mengatur tentang melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
f. Pasal 343 KUHP, mengatur tentang orang lain yang turut melakukan sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana.
g. Pasal 344 KUHP, mengatur tentang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
h. Pasal 345 KUHP, mengatur tentang sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri atau memberi sarana kepadanya diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
i. Pasal 346 KUHP, mengatur tentang seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
j. Pasal 347 KUHP, pada ayat (1) mengatur tentang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita “tanpa persetujuannya”, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Dan pada ayat (2) mengatur jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita itu, dikenakan pidana penjara paling lama 15 tahun.
k. Pasal 348 KUHP, pada ayat (1) mengatur tentang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita “dengan persetujuannya”, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan. Dan pada ayat (2) mengatur jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita itu, dikenakan pidana penjara paling lama 7 tahun.
l. Pasal 349 KUHP, mengatur tentang seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan pengguguran kandungan sebagaimana diatur dalam Pasal 346, 347, dan 348 KUHP, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pekerjaannya.
m. Pasal 350 KUHP mengatur tentang pemidanaan karena pembunuhan, pembunuhan dengan rencana, atau karena salah satu kejahatan menurut Pasal 344, 347, dan 348, dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut pasal 35 nomor 1-5, yaitu (1) hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; (2) hak memasuki angkatan bersenjata; (3) hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; (4) hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; (5) hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
2. KUHP Jepang (The Penal Code of Japan)
Tindak pidana (delik) pembunuhan di Jepang diatur dalam Buku II Kejahatan (Delik), Bab XXVI tentang Kejahatan Pembunuhan, mulai Pasal 199 sampai dengan Pasal 203. Bab ini meliputi pengaturan tentang:
a. Pasal 199 KUHP Jepang, mengatur tentang pembunuhan, yaitu seseorang yang membunuh orang lain, diancam pidana mati atau penjara kerja paksa seumur hidup atau tidak kurang dari 3 tahun.
b. Pasal 200 KUHP Jepang, mengatur tentang pembunuhan orang tua secara vertikal ke atas, yaitu seseorang yang membunuh orang tuanya sendiri secara vertikal ke atas atau orang tua istri/suami secara vertikal ke atas, diancam pidana mati atau penjara kerja paksa seumur hidup.
c. Pasal 201 KUHP Jepang, mengatur tentang persiapan, yaitu seseorang yang membuat persiapan untuk tujuan melakukan kejahatan yang ditentukan di dalam dua pasal terdahulu, diancam dengan pidana penjara kerja paksa selama tidak lebih dari dua tahun; ditentukan bahwa pidananya dapat dikurangi sesuai dengan keadaan-keadaan.
d. Pasal 202 KUHP Jepang, mengatur tentang penyertaan di dalam bunuh diri, yaitu seseorang yang karena dorongannya atau bantuannya menyebabkan orang lain melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain atas permintaannya atau dengan persetujuannya, diancam pidana penjara dengan atau tanpa kerja paksa selama tidak lebih dari enam bulan dan tidak lebih dari tujuh tahun.
e. Pasal 203 KUHP Jepang, mengatur tentang percobaan, yaitu percobaan untuk melakukan kejahatan yang ditentukan di dalam Pasal 199, Pasal 200 dan pasal terdahulu, diancam pidana.
3. KUHP Argentina
Tindak pidana (delik) pembunuhan di Argentina diatur dalam Buku II Kejahatan, Titel I Kejahatan Terhadap Orang, Bab I tentang Kejahatan Terhadap Nyawa, mulai Pasal 79 sampai dengan Pasal 88. Bab ini meliputi pengaturan tentang:
a. Pasal 79 KUHP Argentina, mengatur tentang siapapun yang membunuh orang lain, akan dipidana penjara atau tutupan dari 8 sampai 25 tahun, kecuali ditentukan lain dalam kitab ini.
b. Pasal 80 KUHP Argentina, mengatur tentang pidana penjara atau tutupan seumur hidup akan dikenakan walaupun diterapkan ketentuan Pasal 52, terhadap setiap orang yang membunuh. (1) dengan mengetahui orang tuanya ke atas, turunan atau suami/istri; (2). untuk mendapat keuntungan lain secara mengkhianat, kejam, janji memberi upah, dengan menyebabkan celaka besar kepada korban, dengan cara kejahatan brutal, racun, bakar, banjir, kereta api keluar rel, ledakan, atau dengan cara lain yang menyebabkan kerusakan besar; (3). seseorang yang dengan maksud mempersiapkan, memberi fasilitas, menyempurnakan atau menyembunyikan kejahatan lain, atau melindungi hasilnya, atau menjamin kebebasan dari pidana atau salah satu dari pesertanya, atau karena ia tidak berhasil mendapatkan hasil bermaksud melakukan kejahatan lain.
c. Pasal 81 KUHP Argentina, pada ayat (1) mengatur tentang penjara dari 3 sampai 6 tahun atau tutupan dari 1 sampai 3 tahun dikenakan terhadap seseorang yang: (a) membunuh seseorang sementara ia dalam luapan emosi yang menurut keadaan-keadaan dapat dipandang sebagai dapat dimaafkan, (b) dengan maksud merusak (melukai) badan atau kesehatan orang lain yang menyebabkan kematiannya yang secara wajar tidak menyebabkan kematian. Pada ayat (2) mengatur tentang penjara sampai 3 tahun atau tutupan dari 6 bulan sampai 2 tahun akan dikenakan terhadap seorang ibu yang dengan maksud menutup malunya membunuh anaknya yang baru lahir pada waktu kelahiran atau di bawah keadaan-keadaan melahirkan atau terhadap orang tua, saudara, suami/istri atau anak yang dengan maksud menyembunyikan malu anak perempuannya, saudara perempuan, istri/suami, atau ibu melakukan kejahatan yang sama di bawah keadaan-keadaan yang ditunjukkan oleh huruf (a) dari butir 1 pasal ini.
d. Pasal 82 KUHP Argentina, mengatur tentang apabila dalam hal yang diatur oleh butir 1 Pasal 80 dan salah satu keadaan-keadaan dari butir 1 dari pasal yang lalu berbarengan, pidananya ialah penjara atau tutupan dari seluruh sampai 25 tahun.
e. Pasal 83 KUHP Argentina, mengatur tentang siapapun yang menganjurkan atau menolong orang melakukan bunuh diri akan dipidana dengan tutupan dari 1 sampai 4 tahun apabila bunuh diri itu telah dicoba atau telah selesai.
f. Pasal 84 KUHP Argentina, mengatur tentang seseorang yang karena kesembronoan, kelengahan atau ketidakcakapan dalam pekerjaan atau profesi atau karena kegagalan untuk memperhatikan peraturan-peraturan atau kewajiban-kewajiban kedudukannya, menyebabkan kematian orang lain, akan dipidana dengan tutupan dari 6 bulan sampai 2 tahun dan diskualifikasi khusus dari 5 sampai 10 tahun.
g. Pasal 85 KUHP Argentina, mengatur tentang siapapun yang melakukan abortus akan dipidana : (1) dengan penjara atau tutupan dari 3 sampai 10 tahun jika ia bertindak tanpa persetujuan wanita itu. Pidana ini akan dinaikkan sampai lima belas tahun jika mengakibatkan kematian wanita itu. Pada ayat (2) dengan penjara atau tutupan dari 1 sampai 4 tahun jika ia bertindak dengan persetujuan wanita itu. Maksimum dari pidana akan dinaikkan sampai 6 tahun jika mengakibatkan kematian wanita itu.
h. Pasal 86 KUHP Argentina, mengatur tentang seorang dokter, ahli bedah, bidan, apoteker yang menyalahgunakan profesinya atau pekerjaan, dan yang melakukan abortus atau membantu melakukannya, dengan menyalahgunakan profesinya atau pekerjaan, akan memperoleh pidana yang ditentukan di dalam pasal yang lalu dan juga diskualifikasi khusus untuk jangka waktu yang sama dengan pidana itu. Abortus yang dilakukan oleh seorang dokter yang mempunyai izin dengan persetujuan wanita hamil itu, tidak dapat dipidana: (1) Jika dilakukan untuk mencegah suatu bahaya terhadap nyawa atau kesehatan dari ibu dan bahaya ini tidak dapat dihindari dengan cara yang lain. (2) Jika kehamilan merupakan hasil perkosaan atau serangan tidak senonoh dilakukan terhadap seorang wanita yang gila atau idiot, dan abortus dilaksanakan dengan persetujuan oleh wakil wanita itu yang sah.
i. Pasal 87 KUHP Argentina, mengatur tentang siapapun yang menyebabkan suatu abortus dengan kekerasan tanpa maksud demikian, akan dipidana dengan tutupan dari 6 bulan sampai 2 tahun, jika ia tahu kehamilan itu atau telah nyata.
j. Pasal 88 KUHP Argentina, mengatur tentang wanita yang menyebabkan abortus pada dirinya sendiri atau dengan persetujuannya orang lain melakukannya akan dipidana dengan tutupan dari 1 sampai 4 tahun. Suatu percobaan yang dilakukan oleh wanita itu untuk dirinya sendiri tidak dapat dipidana.
Dari beberapa gambaran tindak pidana (delik) pembunuhan dari KUHP Indonesia, KUHP Jepang, KUHP Argentina di atas tindak pidana pembunuhan, mempunyai arti yang berbeda-beda dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan bahkan berbagai KUHP asing juga memberikan perumusan yang berbeda-beda walaupun maksudnya adalah sama yaitu menghilangkan nyawa seseorang atau orang lain. Tetapi banyak KUHP-KUHP yang tidak secara jelas memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan pembunuhan itu, bagaimana pembunuhan itu dilakukan, siapa-siapa pelakunya, apakah pelakunya sengaja atau karena kelalaian, siapa yang dibunuh, dan sebagainya. Hal ini dijumpai pula di dalam KUHP Indonesia sendiri, maupun KUHP bandingan yaitu KUHP Jepang dan KUHP Argentina.
Dari adanya perbedaan dan persamaa tersebut, maka perbandingan antara KUHP Indonesia, KUHP Jepang, dan KUHP Argentina khusus mengenai tindak pidana (delik) pembunuhan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dalam KUHP Jepang tentang tindak pidana (delik) pembunuhan diatur dalam Bab XXVI tentang Kejahatan Pembunuhan, Pasal 199-203. Berbeda dengan KUHP Indonesia, karena tidak disebut-sebut tentang unsur “sengaja”, tetapi langsung saja mengatakan “membunuh orang lain” (kill another), tidak ada yang sejajar dengan Pasal 340 KUHP Indonesia yaitu pembunuhan berencana. Semuanya tercakup di dalam satu pasal, yaitu Pasal 199 KUHP Jepang. Tetapi khusus bagi pelaku yang membunuh orang tuanya sendiri, garis lurus ke atas atau orang tua istri/suami garis lurus ke atas, diancam pidana berat, yaitu pidana mati atau pidana penjara kerja paksa seumur hidup. Ini menandakan bahwa hukum pidana suatu bangsa itu mencerminkan kepribadian bangsa itu.
2. Dalam KUHP Argentina diatur dalam Bab I tentang Kejahatan Terhadap Nyawa, Pasal 79-88 KUHP Argentina. Tindak pidana pembunuhan menurut KUHP Argentina ini hampir sama dengan KUHP Jepang, dan sangat berbeda dengan KUHP Indonesia, karena KUHP Argentina langsung saja dikatakan “membunuh” (to kill), tidak disebut tentang sengaja, jadi lebih sederhana. KUHP Argentina mengenal pembunuhan dengan pemberatan seperti membunuh orang tuanya, pada waktu banjir dan seterusnya seperti dalam KUHP Jepang.
3. KUHP Indonesia tidak memisahkan antara pembunuhan biasa dengan pembunuhan lewat pengguguran (abortus), akan tetapi delik pembunuhan dikelompokkan ke dalam satu bab tentang kejahatan terhadap nyawa, demikian juga dengan KUHP Argentina. Dengan demikian delik pembunuhan dan abortus diatur sama dengan kejahatan terhadap nyawa (delik pembunuhan). Sedangkan di dalam KUHP Jepang ketentuan kejahatan pembunuhan dengan kejahatan abortus tidak diatur dalam satu bab, melainkan dipisahkan atau dibedakan jenisnya.
4. Masalah pemidanaan menurut KUHP Jepang untuk delik pembunuhan biasa ditetapkan ancamannya pidana mati atau penjara kerja paksa seumur hidup atau tidak kurang dari 3 tahun. Menurut KUHP Argentina ditetapkan dipidana penjara atau tutupan dari 8 tahun sampai dengan 26 tahun, dan masih ada pertimbangan lain jika ada ketentuan lain dalam KUHP Argentina ini. Sedangkan menurut KUHP Indonesia ditetapkan pidana penjara paling lama 15 tahun.
5. KUHP Jepang memberikan ketentuan bahwa pembunuhan itu dilakukan kepada orang tuanya sendiri secara vertikal ke atas atau orang tua istri/suami secara vertikal ke atas, diancam pidana mati atau penjara kerja paksa seumur hidup. Jadi lebih berat dibanding dengan pembunuhan biasa lainnya atau dapat disebut dengan pembunuhan dengan pemberatan. Ketentuan ini hampir sama dengan KUHP Argentina yang mengenal pembunuhan dengan pemberatan seperti membunuh orang tuanya, turunan atau suami/istri, karena banjir dan sebagainya seperti diatur dalam Pasal 80 KUHP Argentina, dengan pidana penjara atau tutupan seumur hidup. KUHP Indonesia tidak mengatur tentang pembunuhan yang dilakukan kepada orang tuanya sendiri secara vertikal ke atas atau orang tua istri/suami secara vertikal ke atas seperti yang diatur dalam KUHP Jepang maupun KUHP Argentina. Oleh karena itu (di dalam Rancangan KUHP Baru telah dimasukkan tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap orang yang perlu dikasihani dan yang justru dilindungi seperti bapak, ibu, istri, suami atau anak, maka pidanannya perlu diperberat dengan ditambah sepertiga). Dalam KUHP Indonesia hanya mengatur tentang pembunuhan pemberatan seperti dalam Pasal 339 KUHP Indonesia, yang menyebutkan tentang pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, tanpa menyebutkan kepada siapa pembunuhan itu dilakukan seperti dalam KUHP Jepang dan KUHP Argentina.
6. KUHP Indonesia mengatur tentang pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun. KUHP Jepang juga mengatur tentang pembunuhan berencana ini (istilahnya persiapan), tetapi ancaman hukumannya berbeda dengan KUHP Indonesia, yaitu dengan ancaman pidana penjara kerja paksa selama tidak lebih dari 2 tahun, dan ada ketentuan bahwa pidananya dapat dikurangi sesuai dengan keadaan-keadaan. Namun di dalam KUHP Argentina tidak mengatur tentang pembunuhan berencana ini seperti yang diatur dalam KUHP Indonesia maupun KUHP Jepang.
7. KUHP Jepang mengatur tentang penyertaan di dalam bunuh diri baik karena dorongannya atau bantuannya atau membunuh atas permintaannya, diancaman pidana penjara dengan atau tanpa kerja paksa selama tidak lebih dari 6 bulan dan tidak lebih dari 7 tahun. Hal ini hampir sama dengan KUHP Indonesia yang mengatur juga tentang membunuh atas permintaan orang itu sendiri, yang diancam pidana paling lama 12 tahun, dan jika sengaja mendorong orang, menolongnya atau memberi sarana untuk bunuh diri, diancam dengan pidana penjara paling lama 14 tahun kalau orang itu jadi bunuh diri. Sedangkan KUHP Argentina hanya mengatur tentang seseorang karena menganjuran atau memberi dorongan atau menolong orang melakukan bunuh diri akan dipidana dengan tutupan dari 1 sampai 4 tahun jika bunih diri itu “telah dicoba” atau telah selesai. Hal ini berbeda dengan KUHP Indonesia yang tidak mensyaratkan adanya “telah dicoba”, tetapi hanya mensyaratkan jika bunuh diri itu telah selesai, dan bahkan KUHP Jepang tidak menyebutkan secara tegas tentang bunuh diri itu telah dicoba atau telah selesai.
8. Pasal 203 KUHP Jepang mengatur tentang percobaan untuk melakukan pembunuhan berdasarkan pasal 199 dan 200 KUHP Jepang, diancam pidana. Mengenai percobaan ini juga disebutkan dalam Buku I Ketentuan Umum Bab VIII tentang Percobaan, Pasal 43 dan Pasal 44 KUHP Jepang. KUHP Argentina dan KUHP Indonesia tidak mengatur secara khusus tentang percobaan pembunuhan ini di dalam bab tentang kejahatan pembunuhan, tetapi diatur dalam Buku I tentang Ketentuan Umum, yang sama-sama tidak menyebutkan tentang percobaan kejahatan apa yang dapat dipidana. Namun demikian ketentuan tentang percobaan KUHP Argentina berbeda dengan KUHP Indonesia, yaitu dalam hal pidananya, karena dipotong sepertiga sampai setengah, bahkan bisa ditiadakan jika pelaku tidak berbahaya. Karena tidak dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran, maka ketentuan tentang tindak pidananya pelanggaran itu tidak diatur.
9. KUHP Jepang tidak memasukkan abortus di dalam satu bab tentang Kejahatan Pembunuhan, tetapi mengaturnya dalam bab tersendiri yaitu dalam Bab XXIX tentang Kejahatan Abortus, mulai Pasal 212 sampai dengan Pasal 216 KUHP Jepang. Hal ini berbeda dengan KUHP Argentina dan KUHP Indonesia, yang mengatur masalah abortus ini ke dalam satu bab tentang Kejahatan Terhadap Nyawa.
10. KUHP Argentina mengatur tentang pembunuhan karena kesembronoan, kelengahan atau ketidakcakapan dalam pekerjaan atau profesi atau karena kegagalannya untuk memperhatikan peraturan atau kewajiban kedudukannya, akan dipidana dengan tutupan dari 6 bulan sampai 2 tahun dan diskualifikasi khusus dari 5 sampai 10 tahun. KUHP Indonesia tidak mengatur pembunuhan karena kesembronoan, kelengahan atau ketidakcakapan dalam pekerjaan atau profesi ini dalam bab tentang kejahatan terhadap nyawa, tetapi diatur di dalam bab tersendiri yaitu Bab XXI tentang menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan, mulai Pasal 359-361 KUHP Indonesia. Sedangkan dalam KUHP Jepang juga tidak diatur dalam satu bab dengan kejahatan pembunuhan, tetapi dalam Bab XXVIII tentang Kejahatan Karena Kelalaian Menyebabkan Luka, mulai Pasal 209 sampai dengan Pasal 211 KUHP Jepang. Masalah kelalaian yang menyebabkan kematian di Jepang ini diancam pidana denda tidak lebih dari 2.000 yen. Sedangkan KUHP Indonesia menyebutkan bahwa kelalaian yang menyebabkan kematian diancam pidana penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling lama 1 tahun. Dengan demikian maka masalah kesengajaan dan kelalaian menurut KUHP Jepang tidak diatur dalam setiap pasal. Secara singkat hanya disebut di Buku I tentang Ketentuan Umum, Pasal 38 bahwa perbuatan yang dilakukan tanpa sengaja tidak dapat dipidana, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang. Dengan demikian KUHP Jepang hanya mengatur kelalaian di dalam pasal yang bersangkutan saja.
11. Hal yang menarik dalam KUHP Jepang bahwa ketentuan tentang orang yang menyerah sebelum diketahui sebagai penjahat, pidananya dikurangi. Hal ini tidak terdapat baik dalam KUHP Argentina maupun KUHP Indonesia. Walaupun dalam KUHP Indonesia dalam ketentuan Buku I tentang Aturan Umum, Bab III tentang hal-hal yang mengahapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana, tetapi tidak satu pasalpun yang menyebutkan tentang penyerahan si pelaku kajahatan.
III. KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam perbandingan KUHP Jepang, KUHP Argentina, dan KUHP Indonesia adalah wajar, sebab hal ini disebabkan karena beberapa faktor yang mempengaruhinya. Dari perbedaan yang ada dapat kiranya dipakai sebagai bahan masukan dalam rangka pembaharuan hukum pidana pada umumnya dan khususnya dapat dijadikan bahan pertimbangan serta masukan yang positif terhadap terbentuknya KUHP Indonesia yang baru (yang sekarang masih berupa Rancangan KUHP (baru)).
2. Ruang lingkup tindak pidana (delik) pembunuhan menurut KUHP Jepang, KUHP Argentina, dan KUHP Indonesia berbeda-beda, hal ini disebabkan karena pengertian dan batas-batas delik pembunuhan itu sendiri sifatnya sangat luas. Oleh karena itu perlu dalam rangka Penyusunan KUHP Indonesia (Baru) perlu lebih dipertegas dan diperjelas tentang ide dasar atau konsep dasar dan batas-batas yang jelas tentang delik pembunuhan itu sendiri.
——————-
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum PIdana, Rajawali, Jakarta, 1990.
A.Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.
Frans Maramis, Perbandingan hukum pidana Cet. 1, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994..
Sugandhi, R., KUHP Dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1981.
Japan, The Penal Code of Japan, EHS Law Bulletin Series, Eibun Horei-Sha Inc, Tokyo, 1973.
Penal Code of Argentina
Posted in Artikel Pribadi Hukum Pidana
Posted on November 10, 2009
GRATIFIKASI DAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (*Oleh Budiyanto: Materi Seminar Dies Uncen 2006)
PENDAHULUAN
Korupsi dikualifikasikan dari perspektif kriminologis sebagai the multy endemic crime, atau ada pula yang menyebutnya sebagai the structural crime atau kejahatan yang sudah berstruktur, mengakar kuat bahkan sudah bersistem, sehingga korupsi digolongkan ke dalam seriously crime atau “extra ordinary crime”. Dengan demikian penangannya pun semestinya berskala ekstra, dengan pendekatan bersistem (systematic approach). Pendekatan ini melibatkan institusi yang terkait dengan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana (institutional criminal justice system) maupun institusi di luar peradilan pidana untuk saling memberikan supporting terhadap penanganan perkara korupsi (upaya penal) dan sekaligus melakukan upaya pencegahannya (upaya non penal).
Akan tetapi upaya penegakan hukum (law enforcement) terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia belum menampakkan harapan cerah. Kasus-kasus korupsi banyak yang berhenti (dipetieskan) dalam tahapan pra-ajudikasi (pre-adjudication phase, preliminary phase) meskipun pengadilan tindak pidana korupsi (yang digelar oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) mulai menunjukkan kinerjanya dalam mengadili beberapa perkara korupsi berskala nasional seperti kasus mark up harga surat suara di kalangan KPU.
Salah satu penyebab kesulitan pengungkapan dan penanganan perkara korupsi ialah kesulitan dalam hal pembuktian. Penyebab yang lain ialah kuatnya kedudukan pelaku korupsi karena memiliki economic and social power, bureaucratic power, sehingga memposisikan mereka sebagai beyond the law man (manusia yang sukar dijangkau hukum). Lebih parah dari itu di dalam tubuh aparatur peradilan pidana saja terjadi korupsi, contoh kasus isu suap di lingkungan Mahkamah Agung dalam perkara kasasi pengusaha Probosutejo akhir September 2005, sehingga adalah tepat sinisme yang dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo dengan gaya sosiologi hukumnya bahwa “bagaimana mungkin menyapu halaman sebuah rumah secara bersih kalau sapunya sendiri sebuah sapu kotor” Maksud Sang Begawan hukum ini adalah sukar untuk memberantas korupsi kalau aparat peradilan sebagai pihak yang langsung menegakkan hukum saja masih syarat dengan perilaku korupsi.
Kemana lagi harus kita belajar memberantas korupsi di Indonesia secara sistematis? Pertanyaan demikian pernah dikemukakan oleh Dahlan Iksan dalam pengantar buku “memerangi Korupsi, suatu peta jalan untuk Indonesia” ditulis oleh Ian McWalters. Dahlan Iksan kemudian menunjuk Hongkong sebagai salah satu arah pembelajaran Indonesia memberantas korupsi. Singkatnya bahwa 30 tahun lalu di Hongkong merupakan masa terburuk penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, sebuah mobil pemadam kebakaran yang sudah sampai di lokasi kebakaran tak akan menyemprot air memadamkan api yang berkobar, manakala tak ada pernyataan korban untuk memberikan uang lelah kepada petugas bersangkutan. Begitu pula jururawat (perawat) di rumah sakit tak mau menginjeksi pasien, bila keluarga pasien atau pasien yang bersangkutan belum membisik bahwa nanti diberi uang tambahan. Keadaan seperti di Hongkong mudah-mudahan tidak terjadi di Indonesia (mungkin sudah terjadi).
Oleh karena itu kesulitan dalam hal pembuktian menjadi fokus perhatian serius dalam penanganan korupsi di Indonesia. Bersinergi dengan pembuktian tersebut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur “pembalikan beban pembuktian” (reversal burden of proof, omkering van het bewijslaat). Akan tetapi patut dicatat bahwa tidak semua tindak pidana korupsi (Pasal 2 sampai Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999) menghendaki pembalikan beban pembuktian, akan tetapi terbatas pada dua hal yakni (1) delik pemberian (gratification) atau pemberian yang berkaitan dengan suap (bribery), dan (2) soal perampasan dari delik-delik yang diatur dalam Pasal 2 sampai Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Maksud hal kedua ini adalah terdakwa berdasarkan dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dianggap terbukti melakukan pelanggaran terhadap delik korupsi dalam Pasal 2 sampai Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, dan dikenakan perampasan harta bendanya, sehingga terdakwa wajib membuktikan berdasarkan sistem pembalikan beban pembuktian bahwa harta bendanya bukan berasal dari tindak pidana korupsi.
Delik Gratifikasi
Gratifikasi merupakan salah satu jenis delik korupsi yang baru yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 (selanjutnya disebut UUTPK), karena sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang korupsi yang lama yakni Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.
Dalam Pasal 12 UUTPK disebutkan:
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419. Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dipidana (3) dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara Paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Pasal ini mengadop sekaligus mengintrodusir kembali pasal-pasal dalam KUHP yang sudah lama tertidur dan bergelar sebagaimana papieren tiger.
Disamping Pasal 12 maka gratifikasi lebih jelas lagi diatur dalam Pasal 13 UUTPK, yang menyatakan bahwa:
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Selanjutnya Pasal 12 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
Menurut Pasal 12 B ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa:
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Berdasarkan Pasal 12 B ayat (1) tersebut bahwa obyek dari tindak pidana korupsi adalah Gratifikasi, yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut, baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pasal 12 B ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, dikecualikan pemberlakuannya dengan Pasal 12 C ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menyimak rumusan pasal-pasal gratifikasi di atas, baik yang diatur dalam UUTPK maupun dalam UU Perubahan UUTPK, maka ada 3 (tiga unsur) penting suatu gratifikasi yang mengarah kepada suap yang mesti diperhatikan, yakni (1) ada menerima hadiah atau janji; (2) berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan; (3) bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.
Dengan demikian dalam delik gratifikasi si penerima yang menerima pemberian tersebut itu harus berhubungan dengan jabatan dan bertujuan bahwa dengan pemberian tersebut si penerima akan melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji, tetap harus ada dugaan terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum. Formula atau rumusan lain yang serupa bahwa si penerima pemberian wajib membuktikan bahwa pemberian itu bukan suap. Oleh karenanya, terdakwa akan membuktikan bahwa pemberian itu tidaklah berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji, tetap harus ada dugaan terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum. Dalam kaitan inilah memunculkan “pembalikan beban pembuktian”.
Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Delik Gratifikasi
Dari segi istilah UUTPK dan UU Perubahan UUTPK menggunakan istilah “pembuktian terbalik” sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum dari UU Perubahan UUTPK Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa: Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini (UU Nomor 20 Tahun 2001).
Penggunaan istilah pembuktian terbalik menurut beberapa sarjana hukum di Indonesia seperti Andi Hamzah dan Indriyanto Seno Adji yang intinya berpendapat bahwa pembuktian terbalik saja dapat menimbulkan makna bias, manakala tidak ditambahkan kata “beban” (burden) sebab dalam hal ini pergeseran atau tata urut dari alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP (Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa) tidak bergeser atau bertambah, tetapi kewajiban atau beban membuktikan saja yang terbalik, dari Jaksa Penuntut Umum ke Terdakwa.
Akan tetapi dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum tetap mempunyai kewajiban membuktikan dakwaannya maupun bukti-bukti yang diajukan oleh terdakwa. Sehingga lebih cocok kalau disebut “pembalikan beban pembuktian terbatas atau tidak murni”. Pernyataan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) dan (2) UU Perubahan UUTPK Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Kemudian terhadap Pasal 37 tersebut di atas, maka muncul lagi Pasal 37 A ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perubahan UUTPK Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. (garis bawah dari penulis)
Pembuktian terbalik atau di negara-negara Anglo Saxon dikenal dengan (reversal burden of proof), atau di negara-negara Eropa Kontinental (Belanda) dikenal dengan (omkering van het bewijslaat) merupakan suatu pergeseran beban pembuktian (Shifting of Burden Proof). Dinyatakan terjadi pergeseran karena pembalikan beban pembuktian ini dimaksudkan sebagai bagian dari proses terobosan hukum acara pidana. Tujuannya untuk mempermudah dalam hal memperoleh bukti adanya tindak pidana korupsi, dan sistem pembuktian ini merupakan pengecualian (eksepsionalitas) dari beban pembuktian universal yang dibebankan atau diwajibkan pada Jaksa Penuntut Umum (General Prosecutor), bahkan ditambah dengan kriteria hanya pada perkara tertentu (certain cases).
Oleh karena itu penerapan pembalikan beban pembuktian hanya terbatas pada adjudication phase, dan tidak pada pre-adjudication phase, dan juga penerapannya terbatas pada delik gratifikasi dan perampasan harta benda yang diduga keras berasal dari tindak pidana korupsi berdasarkan salah satu dakwaan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UUTPK dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU Perubahan UUTPK (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001), sebagai tindak pidana korupsi (Penjelasan Pasal 38 B UU Perubahan UUTPK). Dari ketentuan ini timbul persoalan yuridis lain yakni penerapan reversal burden of proof ini apakah tidak bertentangan dengan hak asasi manusia dari terdakwa seperti asas umum dalam hukum pidana formil tentang presumption of innocent, non-self incrimination rights (hak untuk tidak menyalahkan diri sendiri), remind silent rights (hak untuk diam).
Untuk menjaga tidak terjadinya pelanggaran hak-hak terdakwa, maka disarankan (didiskusikan) penerapan pembalikan beban pembuktian ini hanya terjadi pada tahap ajudikasi (adjudication phase) dan tidak pada tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication phase). Hal yang menjadi dasar pemikiran adalah apabila diterapkan juga pada pada tahap pra ajudikasi (pre-adjudication phase) dikuatirkan akan menjadi faktor kriminogen bagi tumbuhnya korupsi gaya baru karena ketidaktransparansinya tahapan pra-ajudikasi tersebut.
Hal lain yang harus dipertimbangkan sekaligus menjadi saran adalah penerapan sistem pembalikan beban pembuktian ini jangan sampai menerobos asas non retroaktif, bahkan dikuatirkan pula akan menimbulkan motif lex talionis (motif balas dendam terhadap terdakwa). Saran juga bahwa dalam penerapan sistem ini hendaknya tetap dipertahankan makna daad-dader strafrecht dengan ide pokok mono-dualisitik keseimbangan antara perlindungan kepentingan masyarakat dengan tidak melupakan kepentingan individu (dader, pelaku), jika tidak diperhatikan secara serius, maka akan semakin meminimalisasi hak-hak terdakwa.
Penutup
Demikianlah beberapa hal mendasar yang berkaitan dengan gratifikasi dan sistem pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi, untuk dijadikan sebagai bahan (referensi) pengantar diskusi dalam seminar ini.
Jayapura, 01 Nopember 2006
Indas adalah portal tempat bertemunya civitas akademika dan umum dalam lingkup yang lebih luas (global), sehingga batasan waktu, ruang dan jarak tidak lagi menjadi hambatan dalam mengembangkan potensi dan menyatukan visi serta misi menuju era keterbukaan. Indas akan memberikan kendali kepada anda secara langsung dalam menentukan tujuan masa depan.
Berkembang bersama Indas.id serta memiliki kesempatan yg tidak terbatas adalah keuntungan yg akan anda miliki apabila bergabung.
Portal Website ini dikelola dan dioperasikan oleh PT. Gilang Candrakusuma. Kebijakan Privasi ini menetapkan cara melindungi dan menggunakan
informasi yang Anda berikan ketika menggunakan layanan situs ini.
Kantor Pusat:
Grha Cakrawala 2nd Floor
Jl. Pemuda No. 72-73 D-E Jakarta 13220 Indonesia.
Telephone :
021-22474247
021-22474274
Facsimile :
021-4890022