KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 UUD Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.
Keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, KHUSUSNYA PEREMPUAN, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum di dalam KUHPidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.
Undang-Undang 24 tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.
Dengan demikian pertimbangan dalam konsideran UU No. 23 tahun 2004, bahwa:
a. setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus;
c. korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;
d. dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga;
Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.
A. PENGERTIAN UMUM
Dalam Undang-Undang (PKDRT) yang dimaksud dengan:
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama PEREMPUAN, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (FOKUS ATAU TITIK TEKAN)
2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
4. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
6. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban (P. 1).
B. LINGKUP RUMAH TANGGA DALAM UNDANG-UNDANG INI MELIPUTI:
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang (baca:suami, isteri, dan anak), karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksudkan ini dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. (P.2.)
C. ASAS DAN TUJUAN
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas: (a) penghormatan hak asasi manusia; (b) keadilan dan kesetaraan gender; (c) nondiskriminasi; dan (d) perlindungan korban (P.3.). Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan: (a) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (b) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (c) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan (d) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera (P.4.).
D. LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara (P.5.):
1. Kekerasan fisik. Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (P.6.).
2. Kekerasan psikis. Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (P.7.).
3. Kekerasan seksual. Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (P.8).atau;
4. Penelantaran rumah tangga. (a) Setiap orang DILARANG menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (b) Penelantaran dimaksud juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (P.9.).
E. HAK-HAK KORBAN
Korban berhak mendapatkan: (a) perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; (b) pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; (c) penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; (d) pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (e) pelayanan bimbingan rohani.
F. KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
1. Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (P.11). Untuk melaksanakan ketentuan ini, pemerintah: (a) merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; (b) menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; (c) menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; (d) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender. Pelaksanaan ketentuan ini dilakukan oleh menteri dengan melakukan koordinasi dengan instansi terkait. (P.12)
2. Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya: (a) penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian; (b) penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; (c) pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan (d) memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban (P.13). Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya. (P.14)
3. Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: (a) mencegah berlangsungnya tindak pidana; (b) memberikan perlindungan kepada korban; (c) memberikan pertolongan darurat; dan (d) membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. (P.15)
G. PERLINDUNGAN
Hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan:
1. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. Perlindungan sementara diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. P.16) Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban. (P.17) Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan. (P.18) Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. (P.19) Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang: (a) identitas petugas untuk pengenalan kepada korban; (b) kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan (c) kewajiban kepolisian untuk melindungi korban. (P.20)
2. Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus: (a) memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya; (b) membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. (P.21)
3. Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus: (a) melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban; (b) memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; (c) mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan (d) melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban. Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. (P.22)
4. Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat: (a) menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping; (b) mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; (c) mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan (d) memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban. (P.23)
5. Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban. (P.24)
6. Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib: (a) memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan; (b) mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau (c) melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya. (P.25)
7. Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. (P.26)
8. Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (P.27)
9. Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan, wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut. (P.28)
10. Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh: (a) korban atau keluarga korban; (b) teman korban; (c) kepolisian; (d) relawan pendamping; atau (e) pembimbing rohani. (P.29)
11. Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut. Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus memberikan persetujuannya. Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban. (P.30)
12. Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk: (a) menetapkan suatu kondisi khusus; (b) mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan. Pertimbangan sebagaimana dimaksud dapat diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga. (P.31)
13. Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun. Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya. (P.32)
14. Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan. Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani. (P.33)
15. Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan. Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani. (P.34)
16. Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas. Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam. Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan bagian ini. (P.35)
17. Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan. Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.(P.36)
18. Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan. Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana dimaksud, pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dilakukan oleh pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi. (P.37)
19. Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari. Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat perintah penahanan. (P.38)
H. PEMUL IHAN KORBAN
Hal-hal yang berkaitan dengan pemulihan korban, adalah sebagai berikut:
1. Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari: (a) tenaga kesehatan; (b) pekerja sosial; (c) relawan pendamping; dan/atau (d) pembimbing rohani. (P.39)
2. Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban. (P.40)
3. Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban. (P.41)
4. Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama. (P.42)
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja sama diatur dengan Peraturan Pemerintah. (P.43)
I. KETENTUAN PIDANA
Hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan pidana, adalah sebagai berikut:
1. (a) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (b) Dalam hal perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (c) Dalam hal perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). (d) Dalam hal perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). (P.44)
2. (a) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). (b) Dalam hal perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). (P.45)
3. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual (pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut), dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). (P.46)
4. Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual (pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (P.47)
5. Dalam hal:
a. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual (pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut).
b. Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual (pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu).
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (P.48)
6. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya (Setiap orang DILARANG menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut)
b. menelantarkan orang lain (Penelantaran dimaksud juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut). (P.49)
7. Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bagian ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. (P.50)
J. SIFAT DELIK/PERBUATAN PIDANA
Semua perbuatan dalam kekerasan dalam rumah tangga ini merupakan delik pidana biasa, terkecuali:
1. Tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari merupakan delik aduan. (P.51)
2. Tindak pidana kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari merupakan delik aduan. (P.52)
3. Tindak pidana kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan. (P.53)
K. KETENTUAN LAIN-LAIN
1. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. (P.54)
2. Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. (P.55)
catatan:
jika anda seorang perempuan yang bersuami dan mengalami masalah KDRT, yang anda harus lakukan dan pertimbangkan adalah:
1. coba selesaikan dulu secara kekeluargaan mungkin masih ada jalan yang terbaik (damai).
2. bicarakan baik2 dengan orang tua anda atau mertua, siapa tahu ada jalan untuk memberikan nasihat supaya suami anda tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga
3. ngaca diri sendiri dulu apa benar memang kekerasan itu terjadi bukan karna kelakuan/perilaku anda sebagai isteri sebagai pemicunya
4. berdo’alah semoga masalah bisa selesai dengan baik tanpa harus ke pengadilan (apalagi ada anak2)
5. jika semua cara damai tidak bisa, coba adukan kasus anda ke yang berwajib (polisi di Polsek atau Polres/ta) agar kasus anda di tindaklanjutin. jangan lupa mintakan visum jika ada tanda2 kekerasan fisik.
6. jangan lupa juga minta perlindungan ke Lembaga perlindungan tentang masalah Perempuan sehingga anda mendapat pendampingan dalam memperjuangkan kasus anda
7. berusahalah agar hak anda tidak ditindas oleh kaum adam
Indas adalah portal tempat bertemunya civitas akademika dan umum dalam lingkup yang lebih luas (global), sehingga batasan waktu, ruang dan jarak tidak lagi menjadi hambatan dalam mengembangkan potensi dan menyatukan visi serta misi menuju era keterbukaan. Indas akan memberikan kendali kepada anda secara langsung dalam menentukan tujuan masa depan.
Berkembang bersama Indas.id serta memiliki kesempatan yg tidak terbatas adalah keuntungan yg akan anda miliki apabila bergabung.
Portal Website ini dikelola dan dioperasikan oleh PT. Gilang Candrakusuma. Kebijakan Privasi ini menetapkan cara melindungi dan menggunakan
informasi yang Anda berikan ketika menggunakan layanan situs ini.
Kantor Pusat:
Grha Cakrawala 2nd Floor
Jl. Pemuda No. 72-73 D-E Jakarta 13220 Indonesia.
Telephone :
021-22474247
021-22474274
Facsimile :
021-4890022