INDAS.ID - Ungkapan klasik bahwa Kemerdekaan Indonesia itu berdiri di atas pengorbanan ribuan nyawa pahlawan bangsa itu bukan hanya pemanis buku sejarah. Kajian sejarah terbaru menggambarkan bahwa kobaran api perang kemerdekaan 1945-1949 berlangsung jauh lebih panas, keras, dan brutal, dari apa yang dapat dibayangkan oleh generasi penerus. "Kebenaran sejarah belum terungkap sepenuhnya karena tak ditulis dengan sejujurnya," kata Marjolein van Pagee, 32 tahun, jurnalis dan sejarawan dari Belanda.
Secara pribadi Marjolein van Pagee mengaku punya ikatan sejarah dengan Perang Kemerdekaan 1945-1949. Kakeknya adalah salah satu serdadu Kerjaan Belanda (KNIL) yang bertugas di Indonesia ketika itu. Dari riset yang dia lakukan, Marjolein menyebut bahwa korban dari pihak Indonesia mencapai 150.000 jiwa yang sebagian besar sipil. Dari pihak Belanda jatuh korban 15.000 jiwa, 6.000 di antaranya tentara, dan selebihnya mereka dianggap kaki tangan NICA, pemerintahan sementara bentukan Belanda.
Mengapa konflik itu begitu keras dan brutal? Jawaban itu yang ingin dicari oleh Marjolein dan teman-temannya yang sehaluan. Mereka kini membangun jejaring melalui Histori-Bersama untuk membangun narasi sejarah bersama dengan perspektif Belanda dan Indonesia. Marjolein menolak anggapan bahwa sudah begitu banyak buku sejarah tentang kolonialisme Belanda di Indonesia, sehingga tak menyisakan ruang baru untuk penyingkapan hal baru.
Bagi Marjolein, lulusan S-2 ilmu sejarah dari Universitas Leiden Belanda itu, ruang penyelidikan masih terbuka jika dilakukan dengan cara pandang baru. Dalam perspektif lama, katanya, kolonialisme adalah hal normal pada zamannya. Maka sebagai kongsi dagang, VOC juga dianggap lumrah untuk melakukan serangan dan pendudukan ke berbagai tempat di Nusantara untuk kemudian menetapkan tata aturan sesuai kepentingan bisnisnya.
Cara pandang itu pula, tutur Marjolein, yang membuat Pemerintah Belanda menolak untuk mengakui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Indonesia dipandang sebagai properti miliknya. Maka, Belanda mengirim 150.000 serdadu untuk mengembalikan Indonesia sebagai propertinya. Tapi, aksi Belanda itu disambut perlawanan hebat yang dikenal sebagai Perang Kemerdekaan 1945-1949.
Pandangan prokolonialisme itu sempat pula diperlihatkan oleh Inggris. Lord Mountabatte, komandan tertinggi pasukan sekutu di Asia Selatan-Tenggara itu, seperti membiarkan serdadu KNIL membonceng masuk ke Indonesia. Padahal, pasukan Inggris yang diberi mandat melucuti tentara Jepang di Indonesia. Inggris seperti setuju Belanda kembali bercokol di Indonesia.
Namun, berkat perlawanan dahsyat pemuda Indonesia terutama pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, di mana tentara Inggris terlibat pertempuran, membuat London berpikir ulang, Betapa tidak. Gempuran dari darat, laut, dan udara, yang makan belasan ribu korban (sebagian besar warga sipil), tak diindahkan oleh arek-arek Suroboyo. Inggris memilih lebih netral.
Toh, itu tidak berarti Inggris secara resmi menentang kolonialisme. Seperti dikatakan oleh Markolein, kolonialisme itu praktek yang memang dianggap sah, lumrah, dan normal, oleh negara-negara Eropa. Meski dengan watak yang berbeda, Inggris juga tercatat sebagai "datuknya" kolonialisme-imperealisme ketika itu.
Karenanya, Marjolein memandang kolonialisme itu seperti ideologi yang dalam operasionalnya sangat mungkin melakukan kekerasan, penghinaan, dan rasisme. Pandangan kolonialisme sebagai ideologi itu disebutnya bisa membantu mengungkap aksi kekerasan yang dilakukan oleh Belanda sebagai penjajah. ‘’Kita perlu mempelajari ideologi NAZI untuk memahami bagaimana Hitler melakukan holocaust,’’ ujar Marjolein pula.
Dalam sudut pandang itu, kolonialisme memang tak bisa disebut lumrah, apalagi dengan segala tradisi kekerasan, rasisme, penghinaan, eksploitasi kekayaan, dan kesewenang-wenangannya. Penyakit itulah yang membuat Jan Pieterszoon Coen tega membantai hampir seluruh penghuni Pulau Banda di tahun 1621, dan menyakit yang sama mendorong Pemerintah Belanda mengirim serdadu untuk menghapus Kemerdekaan Indonesia lalu membangun Pemerintahan Hindia Belanda kembali.
Toh, penyakit kolonialisme itu tak serta-merta lenyap ketika Belanda harus angkat kaki dari Indonesia. Dalam Perjanjian Meja Bundar, di Den Haag, Belanda melempar kartu terakhir: mengakui kedaulatan RI asalkan Pemerintah RI mau membayar kerugian perang senilai 4,5 miliar Gulden, serta-merta membiarkan perusahaan Belanda tetap beroperasi di Indonesia.
Banyak sumber sejarah membenarkan adanya klausul tersebut, meski di pihak Indonesia, hal tersebut tidak pernah mendapat pengakuan resmi. Komunitas Histori Bersama menyebut tagihan kerugian itu benar adanya, dan bahkan sebagian besar telah dibayar oleh Pemerintah RI di paruh pertama dekade 1950-an. Namun, tagihan itu membuat Indonesia jengkel begitu tahu bahwa biaya perang Belanda tak sebanyak yang ditagihkan. Balasannya, perusahaan Belanda di Indonesia dinasionalisasikan.
Persoalan penyakit kolonialisme selesai? Ternyata belum. Setelah Presiden Soekarno lengser, dan Orde Baru mulai berkuasa penuh, Pemerintah Belanda termasuk yang datang memberikan bantuan bilateral maupun multilateral untuk pembangunan Indonesia. Namun,, ada syaratnya. Seperti tertuang di laman Histori Kita, Belanda kembali menagih 600 juta gulden atas kerugian nasionalisasi perusahannya pada 1956. Dalam keadaan kepepet, seperti dalam KMB Den Haag 1949, Pemerintah Indonesia setuju.
Seluruh utang itu berikut pinjaman bilateral, multilateral lewat IGGI dan CGI (1970-an akhir 1980-an), pun telah lunas 2002 silam. Kelompok Histori Bersama itu menyiratkan kekhawatiran bila penyakit kolonialisme itu bisa muncul lagi dalam versi yang baru, karena sumbernya adalah sikap ingin mencari untung dengan segala cara, baik dengan kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, dan perampasan HAM. Kekerasan dalam konteks kolonialisme, seperti yang terjadi dalam perang Kemerdekaan RI, menurut Matjolein, pantas dikategorikan sebagai kejahatan perang.
Justru, penyingkapan sejarah kolonialisme dengan perspektif yang baru itu, dianggap bisa menggugah kesadaran kolektif atas potensi ‘’epedemik’’ kolonialisme itu sendiri. Jangan sampai, penyakit tersebut bermanives lagi dalam gente baru, semisal dalam bentuk apopulisme atau menumpang pada gejala sosial-politik yang lain seperti Asia-fobia, Xeno-fobia, Islam-fobia, dan fobia-fobia lainnya.
Kolonialisme pantas dikubur secara permanen sebagaimana Nazi, dan ideologi lain yang mentolerasi kekerasan, diskriminasi, dan kejahatan HAM lainnya.
Artikel ini telah tayang di
Indonesia.go.id