INDAS.ID - Bicara isu rencana pemindahan ibukota sebenarnya ialah bukanlah wacana baru. Sejak zaman kolonialisme Belanda, ide itu sebenarnya telah mengemuka. Rencana pemindahan ibukota dari Jakarta disebabkan oleh kondisi Jakarta yang berada di daerah pantai yang rendah dan akrab dengan berbagai penyakit menular seperti malaria dan diare.
Pada 1906 pemerintah Hindia Belanda telah mewacanakan pemindahan ibukota dari Jakarta ke Bandung. Meskipun kurang mendapat dukungan Volksraad, tetapi kebijakan ini mulai diimplementasikan pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg Stirum (1916-1921).
Ide ini bermula dari hasil studi HF Tillema tentang kesehatan kota-kota pantai di Pulau Jawa. Sebagai seorang Ahli Kesehatan Lingkungan yang bertugas di Semarang, Tillema menyimpulkan 'kota-kota pelabuhan di pantai Jawa cenderung tidak sehat'.
Tak kecuali Batavia, kota pelabuhan ini kurang memenuhi persyaratan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda. Pada rekomendasi akhirnya, Tillema mengusulkan, Bandung dipilih sebagai Ibukota Hindia Belanda yang baru untuk menggantikan posisi Batavia.
Ide pemindahan Ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung mendapat dukungan dari Prof J Klopper, Rektor Magnificus Bandoengsche Technische Hoogeschool (sekarang ITB), dan mulai dilaksanakan pada 1920. Areal seluas 27 hektar di Bandung pun telah disiapkan menjadi kawasan pusat pemerintahan sipil.
Sejak itulah kantor-kantor baik pemerintah maupun swasta mulai dipindahkan. Secara bertahap beberapa kantor telah dipindahkan ke Bandung, seperti Kantor Pertambangan dan Energi (1924), gedung Geologisch Laboratorium (1928), Gedung Pensiun (1940), Perum Bio Farma (1923), Kantor Pos Besar (1928), dan Kantor Pusat Kereta Api (1928).
Namun di lahan yang disiapkan untuk kawasan pusat pemerintahan sipil itu ternyata hanya sempat diselesaikan dua bangunan, yaitu Departement Verker en Gemeentewerken (1920) dan Hoofdbureu Post Telegraf en Telefoon (1920). Sedangkan 12 bangunan lain yang direncanakan, tidak sempat dibangun karena pemerintah Belanda mengalami resesi dan menyebabkan gagalnya proyek pemindahan ibukota ke Bandung.
Selain Bandung, Palangkaraya juga pernah didaulat menjadi kota tujuan relokasi ibukota. Jauh hari pada 1957 Presiden Soekarno pernah mencanangkan kota ini sebagai lokasi baru terkait kebijakan pemindahan Ibukota Jakarta. Posisi geografis Palangkaraya dianggap unik karena berada tepat di tengah-tengah gugus kepulauan Indonesia.
Ide ini mengemuka saat peresmian Palangkaraya sebagai Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Sekalipun saat itu jika ke Palangkaraya masih harus mengendarai transportasi sungai dari Banjarmasin, dua kali kunjungan presiden pertama ini mengisyaratkan keseriusan rencana pemindahan ibukota ke sana.
Akan tetapi setelah keluarnya Dekrit 5 Juli 1959, Presiden Soekarno tampaknya meninggalkan gagasan pemindahan ibukota. Bung Karno demikian dia biasa dipanggil terlihat kembali memfokuskan pembangunan di Jakarta, yang hendak dijadikannya sebagai simbol kebangkitan Indonesia sebagai pemimpin Dunia Ketiga.
Kini Tugu Soekarno dikenang orang menjadi memori wacana Presiden Soekarno memindahkan ibukota. Terletak di dekat Istana Isen Mulang dan hanya berjarak 50 meter dari bibir Sungai Kahayan, di sinilah Soekarno meletakkan batu pertama pembangunan Kota Palangkaraya, 17 Juli 1957.
Wacana pemindahan ibukota terus bergulir. Merujuk artikel 'Pemindahan Ibukota Negara' tulisan Deden Rukmana, memasuki era Orde Baru ide pemindahan ibukota sempat muncul. Presiden Suharto juga menggagas pemindahan ibukota dari DKI Jakarta ke Jonggol Jawa Barat melalui Keppres No 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri.
Keputusan ini mendukung rencana pengembangan Jonggol sebagai kota mandiri seluas 30 ribu hektar. Rencana pemindahan ibukota ke Jonggol tidak berlanjut seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998.
Masih merujuk artikel yang sama, dikatakan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono wacana pemindahan ibukota juga tercatat muncul kembali. Ide ini disampaikan oleh presiden keenam pada Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Palangkaraya di awal Desember 2009. Dalam kesempatan itu, Presiden SBY menekankan beban fungsi pelayanan dan kelayakan Jakarta sebagai ibukota negara sudah semakin berat.
Pada awal September 2010, Presiden SBY mengemukakan pembentukan tim kecil. Tim ini ditugaskan mengkaji ide pemindahan ibukota negara. Ada tiga rekomendasi sebagai skenario, yaitu, pertama, mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara dan dilakukan pembenahan atas semua permasalahan. Kedua, memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru yang tetap berada di Pulau Jawa. Ketiga, memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di luar Pulau Jawa.
Namun sayangnya di era Presiden SBY ini, rencana pemindahan ibukota masih sebatas rencana dan belum ditindaklanjuti lebih jauh. Kini di akhir pemerintahan Presiden Jokowi, ide pemindahan ibukota kembali menyeruak kuat.
Menariknya, kini hampir bisa dipastikan, lokasi tujuan relokasi ialah di luar Pulau Jawa. Salah satu argumen yang mengemuka ialah upaya menciptakan pemerataan pertumbuhan ekonomi antarwilayah di Indonesia.
Artinya, bicara salah satu tujuan relokasi ibukota ke luar Pulau Jawa ialah mendongkrak perekonomian wilayah dan sekaligus melakukan pemerataan ekonomi antarwilayah. Dalam hitungan Bappenas, setidaknya kurang lebih dibutuhkan dana sebesar 466 triliun.
Ya, pemindahan ibukota jelas bakal membawa dampak ekonomi bagi lokasi tujuan. Bukan saja perhatian mata dunia dan dunia ekonomi akan tertuju kepadanya, kebijakan ini juga bisa dipastikan bakal jadi pengungkit ekonomi kawasan, memunculkan kantong-kantong baru tujuan investasi, dan pusat pertumbuhan ekonomi baru berskala nasional.
Di sisi lain daerah tujuan relokasi juga harus siap dengan munculnya dampak eksternalitas, baik dalam arti positif maupun negatif. Minimal, setidaknya masyarakat lokal penghuni kota itu harus benar-benar telah dipersiapkan untuk tumbuh dalam format kehidupan sebagai kota urban dan sekaligus metropolitan.
Dalam kerangka inilah, ini berarti bukan saja masyarakat lokal harus tak gagap saat menerima kehadiran populasi masyarakat lain yang beragam dalam jumlah sangat besar, melainkan secara potensi kultural juga sanggup tumbuh menjadi sebuah budaya yang bercorak terbuka, pluralis, dan kosmopolitan.
Mari bersama-sama ditunggu. Apakah rencana relokasi ibukota akan benar-benar bisa diwujudkan oleh Presiden Joko Widodo, dan di manakah pilihan kota tujuan akan berlabuh? Mari juga bersama-sama ditunggu, apakah kebijakan pemindahan ibukota bisa disematkan di bahu presiden ketujuh sebagai legacy di periode kepemimpinannya yang kedua?
Sumber Artikel:
Indonesia.go.id