INDAS.ID - Kereta api berteknologi levitasi magnetik (maglev) yang melaju dengan kecepatan 1.000 kilometer per jam berhasil diujicobakan di China.
Namun, para pakar di negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu mengingatkan beberapa persoalan teknis masih membutuhkan penanganan serius sebelum kereta berjuluk 'super maglev' itu dioperasikan.
Purwa rupa kereta di lintasan 45 meter sedang dikembangkan Deng Zigang dan timnya di laboratorium Southwest Jiaotong University, Chengdu, Provinsi Sichuan, sebagaimana tayangan CCTV, saluran televisi resmi China.
Kereta tersebut menggabungkan dua teknologi, yakni teknologi maglev yang berarti mengurangi gesekan roda dengan rel dan evakuasi tabung gerbong untuk mengurangi gesekan dengan udara, demikian tesis Deng dan timnya yang dipublikasikan di laman Institute of Electrical and Electronics Engineers, asosiasi para profesional berkantor pusat di Amerika Serikat, dikutip Antara.
Deng dan timnya mengurangi tekanan udara serendah mungkin hingga 2,6 centibar atau 2,9 kilopaskal unit tekanan dalam eksperimen pada garis tengah 6 meter saat uji laju berkecepatan 50 kilometer per jam.
Perlu diketahui bahwa tekanan atmosfir bumi standarnya 101,32 kilopaskal.
Penemuan tersebut kedengarannya sangat dahsyat. Namun masih banyak persoalan teknis yang dihadapi, seperti faktor keselamatan dan biaya sebagaimana dikemukakan Sun Zhang, seorang profesor dan pakar perkeretaapian dari Shanghai Tongji University.
"Kereta api itu harus bisa berhenti kapan saja diperlukan. Hal itu bisa dilakukan di ruang terbuka dengan memanfaatkan resistensi udara. Namun akan menjadi persoalan karena tabung hampa (di teknologi tersebut) tidak ada resisteni udaranya," katanya sebagaimana dikutip Global Times.
Sun menanyakan, "Bagaimana jika tabung aus dan udara masuk ke sistem teknologi itu? Bukankah ini akan menjadi persoalan lain?"
Dalam teknologi perkeretaapian, China berupaya keras bisa menyaingi Jepang. Pada 2015, Jepang telah berhasil menjalankan kereta maglev dengan kecepatan maksimum 603 kilometer per jam, seperti laporan The Guardian, surat kabar harian asal London, Inggris.
(Sumber Artikel:
The Guardian /
Antaranews)