Sejarah Istana Yogyakarta
indas/presidenri • Kamis, 19 Juli 2018
Sumber Foto : presidenri.go.id
INDAS.ID - Kota Yogyakarta mempunyai peran penting dalam revolusi. Ketika Belanda melakukan agresi militer Januari 1946, untuk menduduki kembali Indonesia, pemerintahan Republik Indonesia mengungsi ke Yogyakarta. Presiden Sukarno dan Moh Hatta lalu memimpin pemerintahan dari Yogyakarta.
Gedung Agung dibangun sebagai kediaman resmi Residen pada Mei 1824 ketika Residen Anthonie Hendriks Smissaert memegang jabatan. Gubernur Jenderal di Batavia menunjuk seorang arsitek bernama A.A.J. Payen yang juga guru seni lukis Raden Saleh untuk membuat desain gedung.
Di dalam Gedung Agung ini Ibu Fatmawati yang hamil tua melahirkan Megawati Soekarnoputri pada Januari 1947.
Lokasi pembangunan kantor residen tepat berseberangan dengan benteng Rustenburg yang sudah ada sejak 1767. Benteng ini sempat hancur karena gempa bumi lalu dibangun kembali pada 1867 dan diberi nama baru menjadi benteng Vredenburg. Benteng itu dibangun dalam jarak tembak meriam ke arah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk mencegah kemungkinan pembangkangan di lingkungan Kraton Yogyakarta.
Saat gedung sedang dibangun meletus Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Residen Smissaert mengungsi ke dalam Benteng pada 1832 sementara pemerintah kolonial juga menghabiskan banyak dana untuk menghentikan pemeberontakan ini. Perang Jawa mengajarkan Belanda untuk sangat mempertimbangkan soal keamanan tempat tinggal dan kantor bagi pejabat tingginya.
Gempa bumi pada 1867 telah meruntuhkan bangunan awal Residenan Yogyakarta. Bangunan baru segera didirikan di atas lahan yang sama dengan gaya arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis. Kantor Residen selesai dibangun pada 1869. Gedung baru inilah yang kemudian menjadi bangunan utama Gedung Agung. Pada masa pendudukan Jepang, Gedung Agung menjadi kediaman resmi Koochi Zimmukyoku Tyookan, penguasa tertinggi Jepang di Yogyakarta.
Rakyat Yogyakarta juga mempunyai julukan sendiri atas Gedung Agung. Orang Yogya pernah menyebutnya sebagai Residenan, yaitu tempat tinggal Residen. Ketika Karesidenan Yogyakarta ditingkatkan status administrasinya menjadi provinsi sejak tahun 1927, gedung itu kemudian berubah julukan menjadi Gubernuran atau Loji Gubernur. Gedung itu kemudian berubah julukan menjadi Presidenan ketika Bung Karno dan keluarganya tinggal di sana.
Ketika Agresi Belanda atas Indonesia dilakukan pada Januari 1946, Soekarno beserta keluarganya mengungsi ke Yogyakarta dan menempati sebuah rumah yang pernah menjadi kediaman resmi residen Belanda dan disebut dengan Gedung Agung, yang kini menjadi salah satu Istana Kepresidenan. Di dalam Gedung Agung ini Ibu Fatmawati yang hamil tua melahirkan Megawati Soekarnoputri pada Januari 1947.
Saat Agresi Belanda dimulai, di Gedung Agung ini Panglima Besar Soedirman mohon diri kepada Presiden Soekarno untuk meninggalkan kota dalam rangka memimpin perang gerilya melawan Belanda. Perlawanan gerilya Jendral Soedirman menjadi penting untuk membuktikan bahwa pemerintahan republik Indonesia tidak tunduk di bawah politik agresi Belanda.
Gedung Agung Yogyakarta juga menjadi saksi sejarah pertikaian politik yang mencekam antara pemerintah di bawah Perdana Menteri Sutan Sjahrir dengan kaum oposisi revolusioner Persatuan Perjuangan (PP) di bawah pimpinan Tan Malaka. Pemicu peristiwa ini adalah ketidakpuasan Persatuan Perjuangan atas politik diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap Belanda. Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh (100%), sedangkan kabinet yang berkuasa di bawah PM Sjahrir hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.
Kaum oposisi revolusioner Persatuan Perjuangan yang tidak puas dengan PM Sjahrir pada 3 Juli 1946 menghadap Soekarno dan menyodorkan maklumat untuk ditandatangani presiden. Maklumat itu berisi antara lain tuntutan untuk membubarkan kanbinet II PM Sjahrir dan membentuk Dewan Pimpinan Politik yang dipimpin oleh Tan Malaka. Presiden Soekarno tidak menerima maklumat tersebut dan memerintahkan penangkapan para pengantar maklumat.
Di ruang utama Gedung Agung yang diberi nama ruang Garuda menjadi tempat Soekarno menggelar rapat kabinet dan upacara resmi saat pemerintahan berpusat di Yogyakarta. Setiap minggu Bung Karno juga memberi kuliah ketatanegaraan dan politik yang terbuka bagi umum. Di ruangan ini terpampang beberapa lukisan pahlawan nasional seperti H.O.S. Tjokroaminoto (Affandi), Dokter Wahidin Sudirohusodo (Sudjono Abdullah), Dr. Sutomo (Dullah), M. Husni Thamrin (Soedarso), Dr. Tjipto Mangunkusumo (Soeromo), R.A. Kartini (Trubus S.), Diponegoro, Teuku Tjik Ditiro, dan Tuanku Imam Bondjol (S. Sudjojono).
Di ruang Garuda, terdapat dua ruang tamu utama. Ruang tamu di sebelah selatan disebut Ruang Soedirman, di ruang itulah Panglima Besar Soedirman dulu mohon diri kepada Presiden Sukarno untuk memimpin perang gerilya melawan Belanda. Sementara ruang tamu disebelah utara disebut Ruang Diponegoro untuk mengenang pahlawan besar tersebut. Sebuah reproduksi lukisan Pangeran Diponegoro dari lukisan Basuki Abdullah yang berada di Istana Merdeka diletakan di dalam ruangan ini.
Selama menetap di Gedung Agung Yogyakarta Presiden Soekarno mengambil kesempatan bertemu dengan para seniman Yogyakarta dan membeli beberapa lukisan dari Affandi, S. Sudjojono, dan Sudjono Abdullah (adik Basoeki Abdullah). Sebaliknya, para pelukis pun banyak menitipkan lukisan untuk menghias kediaman Presiden Soekarno. Istana Yogyakarta menjadi ruang pameran para seniman lukis Indonesia. Beberapa lukisan dibubuhi kata-kata yang menunjukkan bahwa lukisan itu dihadiahkan kepada Bung Karno, presiden yang dalam sejarah hidupnya telah memuliakan kehidupan seniman.
Selain lukisan, Istana Yogyakarta juga menyimpan sekitar 50 arca batu kuno yang ditemukan di daerah sekitar Yogyakarta dan kini dirawat serta dilestarikan di sebuah sudut halaman belakang Istana. Arca-arca yang dikumpulkan para Residen Belanda ini semula ditempatkan di Benteng Vredenburg.
Pada tahun 1972, di era Presiden Soeharto, Gedung Agung secara resmi diputuskan menjadi Istana Presiden Republik Indonesia pada 1972, dan dipergunakan sebagai tempat penginapan Presiden dan para tamu negara di Yogyakarta. Sebelumnya, pengelolaan dan perawatan Gedung Agung sejak 1954 ditangani oleh Kepatihan Danurejan. Sejak 1972, Gedung Agung mengalami renovasi agar layak bagi kepala negara dan kepala pemerintahan.
Bagian dari Gedung Agung yang menjadi kompleks Seni Sono dipugar sejak 1995 dan diresmikan saat B.J. Habibie menjadi presiden setelah reformasi. Gedung Seni Sono didirikan pada 1915 itu terletak di sudut selatan bagian depan kompleks Istana Yogyakarta. Bangunan ini pernah dipakai sebagai soos atau societeit, bioskop, sebelum akhirnya menjadi galeri seni.
Di era Presiden Soeharto sejak tahun 1988 Gedung Agung dijadikan tempat upacara Parade Senja setiap 17 Agustus dan acara perkenalan serta perpisahan Taruna Angkatan Udara. Sejak 17 Agustus 1991 Gedung Agung menjadi tempat resmi pemerintahan Yogyakarta untuk memperingati detik-detik peringatakan proklamasi. Sekarang Gedung Agung digunakan sebagai tempat menginap presiden dan wakil presiden bila sedang berkunjung ke Yogyakarta.
Gedung Agung Yogyakarta muncul dalam wacana Presiden Abdurrahman Wahid dalam pertemuan dengan para tokoh politik dengan menceritakan kembali sejarah rasa persaudaraan yang ada di kalangan pimpinan bangsa ini di masa lalu. Presiden Gus Dur bercerita mengenai Moh Yamin yang ketika itu ditahan Presiden Soekarno di Gedung Agung. Hampir setiap malam Bung Karno dan Bung Yamin berbincang-bincang dan makan bersama, tidak ada sikap saling bermusuhan di antara keduanya. “Persaudaraan semacam itu yang sekarang tidak ada dan hilang”, ujar Gus Dur.
Sementara bagi Presiden keempat Megawati Soekarnoputri, Gedung Agung Yogyakarta menjadi bagian penting dari hidupnya, putri Bung Karno Presiden ke 1 Republik Indonesia lahir di dalam Istana Gedung Agung 23 Januari 1947 saat Yogyakarta menjadi ibukota RI di masa revolusi. Menurut Megawati dia sejak lahir sudah jadi anak presiden, karena bapaknya sudah presiden.
Sementara Istana Gedung Agung Yogyakarta menjadi saksi perpisahan Presiden SBY dan Ibu Ani dengan netizen di dunia maya. Pada Kamis 16 Oktober 2014, Presiden SBY dan Ibu Ani mengundang 20 netizen terpilih dari dunia maya yaitu twitter, instagram, dan facebook melalui kuis kopi darat pamitan atau #kopdarpamitan. Tercatat kurang lebih 50.000 akun twitter, 7000 akun instagram dan 35.000 akun facebook mengikuti kuis kopdar pamitan ini.
Bagi Presiden Jokowi Gedung Agung Yogyakarta menjadi penting karena di sana presiden menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan Hak Asasi Manusia di masa lalu. Di Gedung Agung Jokowi mengatakan bahwa pemerintah akan terus berkomitmen untuk menyelesaikan kasus HAM di masa lalu secara berkeadilan. Hak Asasi Manusia menurut Jokowi, juga bukan melulu hanya berkutat masalah pelanggaran masa lalu, namun juga soal jaminan pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya serta jaminan mendapat pelayanan pendidikan, kesehatan serta kebebasan beragama.
(Sumber Materi: Presidenri.go.id)